Soal Pemulangan WNI Eks ISIS, Analis Terorisme Sebut Pemerintah Belum Siap hingga Tawarkan Opsi Lain
Analis Terosisme Ridlwan Habib mengatakan Pemerintah Indonsesia belum siap memulangkan ratusan WNI eks ISIS. Pihaknya pun menawarkan opsi ketiga.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Analis Terorisme, Ridlwan Habib angkat bicara soal wacana pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) eks ISIS dari Suriah ke tanah air.
Ridlwan Habib mengatakan, saat ini program deradikalisasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan instansi pemerintah belum siap.
Sebab, dari internal BNPT sendiri menyebutkan bahwa belum memiliki wacana yang matang untuk melakukan deradikalisasi.
Sementara itu, Ridlwan menilai, apabila WNI eks ISIS tidak dipulangkan, Indonesia akan menghadapi situasi yang sulit.
Kamp yang ditinggali WNI eks ISIS pada Maret 2020 mendatang akan segera ditutup.
Sehingga berisiko para WNI eks ISIS akan menjadi orang-orang liar yang bisa saja pulang ke Indonesia menggunakan jalur-jalur yang tidak semestinya.
Hal itu akan mengancam keamanan Negara Indonesia.
Baca: Pro dan Kontra Pemulangan WNI Eks ISIS, Pengamat Terorisme UI Berikan Jalan Tengah Penyelesaian
"Kamp di Al-Hol Suriah akan ditutup pada bulan Maret, sehingga orang-orang ini (WNI eks ISIS) menjadi orang-orang liar."
"Mereka bisa merembes pulang, mereka bisa menggunakan jalur-jalur yang kita sebutnya jalur tikus untuk masuk Indonesia. Itu akan menjadi ancaman keamanan," papar Ridlwan Habib dilansir dari kanal YouTube Talk Show Tvone, Senin (10/2/2020).
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga terancam mendapatkan serangan secara politik atau tuntutan dari komunitas hak asasi manusia (HAM) internasional lantaran dianggap telah melentarkan WNI.
Lebih lanjut, Ridlwan menyampaikan, dari pihak akademisi telah menawarkan opsi ketiga.
Opsi ketiga tersebut yakni hanya memulangkan WNI eks ISIS yang masih anak-anak di bawah 10 tahun dan wanita yang lemah.
"Kami dari akademisi menawarkan opsi ketiga dari pro kontra ini, yakni memulangkan khusus anak-anak di bawah 10 tahun dan wanita yang lemah," kata Ridlwan.
Menurut Ridlwan, yang menjadi pertimbangan dari opsi ketiga adalah mereka masih bisa direhabilitasi secara psikologis dan jumlahnya tidak terlalu banyak.
Ia pun menyebutkan alasan mengapa hanya kedua kategori itu yang seharusnya dipulangkan ke tanah air.
"Kenapa wanita yang tak lemah enggak dipulangkan? Karena di ISIS itu wanita dan lelaki sama militannya, kemampuannya sama," paparnya.
Baca: Soal Pemulangan WNI Eks ISIS, Choirul Anam: Saya Harap Wapres Maruf Amin Mau Menangani
Ridlwan berharap nantinya pemerintah akan menciptakan satu peraturan pemerintah atau presiden yang mendefinisikan 'wanita lemah' dan 'anak-anak'.
Misalnya, yang dianggap lemah adalah wanita yang sakit karena terkena rudal, atau yang sudah berusia lanjut.
"Anak-anak itu bisa didefinisikan misalnya kalau dengan undang-undang perlindungan anak -anak kan anak itu yang berusia 17 tahun, tapi 14 tahun di sana (Suriah) itu udah gede banget."
"Mereka sudah bisa nembak, bongkar senapan mesin, bisa menciptakan bom, jadi bahaya juga, jadi kita definisikan anak-anak yang diambil yakni berusia 10 tahun," paparnya.
Ridlwan mengatakan, penerimaan kepulangan WNI eks ISIS secara selektif memungkinkan untuk dilakukannya rehabilitasi.
Akan tetapi, proses rehabilitasi tidak hanya dilakukan oleh BNPT, perlu ada bantuan satuan petugas (Satgas).
"Tetapi tetap harus ada tambahan satgas, harus ada tambahan misalnya dari kementerian perlindungan perempuan dan anak, kementerian sosial dan psikolog andal di situ," kata Ridlwan.
(Tribunnews.com/R Agustina)