Sembilan Alasan Buruh Tolak Omnibus Law
Peraturan perundangan yang akan jadi induk beberapa sektor seperti perizinan, upah buruh, investasi dan UMKN, dianggap merugikan buruh.
Editor: Dewi Agustina
"Jadi tak perlu izin tertulis menteri. Pakai izin menteri saja masuk TKA China di proyek Meikarta ketahuan tuh gara-gara corona. Kalau itu dihapus, maka mudah TKA buruh kasar masuk," kata dia.
Selanjutnya, Said memprotes poin mengenai ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menurutnya dipermudah.
Ketujuh, berkurangnya jaminan sosial bagi pekerja buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Lalu, penggunaan karyawan kontrak yang tak terbatas.
"Pekerja sakit. Pekerja yang dapat haid. UU 13 tahun 2003, 2 hari haid upah dibayar. Yang keluarga nikah, orang tua meninggal libur 1 hari tidak dipotong gaji. Di Omnibus law tidak dibayar," kata dia.
Terakhir, soal sanksi pidana yang, kata dia, dihilangkan. Menurutnya, belum ada pasal yang menyebutkan bahwa pengusaha akan mendapat sanksi apabila telat membayar upah maupun tak memberi pesangon.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea, juga mengungkapkan hal yang sama dengan Said Iqbal.
Baca: Survei Indo Barometer Buktikan Keputusan Prabowo Subianto Terima Tawaran Menteri Tepat?
Baca: Pria Ini Mengaku Tak Pernah Sakit Karena Konsumsi Kayu dan Dedaunan Selama 25 Tahun
Ia mengaku sangat terkejut dengan isi draf Omnibus Law Cipta Kerja karena banyak poin yang merugikan buruh.
"Saya masih teringat cita-cita ayahanda Almarhum Jacob Nuwa Wea saat menyusun UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakaerjaan. Aturan ini dibuat saat Jacob Nuwa Wea menjabat Menakertrans di era Presiden Megawati," ujar Andi di Jakarta, Minggu (16/2/2020).
"Isinya sangat melindungi nasib buruh, berbeda 180 derajat dengan Omnibus Law Cipta Kerja yang justru menyulitkan nasib buruh," sambungnya.
Menurutnya, ada banyak hak buruh yang dihapus tak lagi berlaku dengan hadirnya omnibus law tersebut, seperti perubahan jam kerja, sistem kerja, kerja kontrak, outsourcing, upah minimum, dan pesangon.
Selain itu, aturan tenaga kerja asing, sistem kerja dari long life menjadi fleksibel, serta soal jaminan sosial.
"Aturan yang membela nasib buruh dengan membatasi masa kontrak kerja, pesangon yang memadai, outsourcing terbatas untuk 5 jenis pekerjaan, sanksi pidana untuk pengusaha yang tidak menaati aturan dalam UU No 13 Tahun 2013, kenapa itu semua harus dihapuskan?," paparnya.
Andi pun menyebut serikat buruh hingga saat ini tidak pernah diajak berdiskusi dalam Omnibus Law Cipta Kerja, meski pemerintah mengklaim telah berkomunikasi.
"Sebutkan dengan jelas pimpinan buruh yang terlibat dari awal penyusunan RUU Cipta Kerja, jangan mengada-ada," ucapnya.
Baca: Bogasari Dukung UKM Serap Komoditas Pertanian
Baca: Di DPR, Mahasiswa UIN Sindir Prabowo Gabung Pemenang, Fadli Zon Bela Menhan Sempat Tolak RUU KPK