Sembilan Alasan Buruh Tolak Omnibus Law
Peraturan perundangan yang akan jadi induk beberapa sektor seperti perizinan, upah buruh, investasi dan UMKN, dianggap merugikan buruh.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Omnibus penciptaan lapangan kerja terus menuai gelombang protes dari kalangan buruh.
Peraturan perundangan yang akan jadi induk beberapa sektor seperti perizinan, upah buruh, investasi dan UMKN, dianggap merugikan buruh.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyebutkan, ada sembilan poin di draft Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang ditolak pihaknya.
Hal itu disampaikan Said saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (16/2/2020).
Pertama, terkait perubahan aturan upah minimum.
Said mempermasalahkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah sektoral kabupaten/kota (UMSK) yang dihapuskan.
Sementara upah minimum provinsi (UMP) masih tercantum dalam pasal 88 C yang berbunyi gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.
"Ada yang bilang UMP ada, tapi itu tak dibutuhkan oleh buruh kecuali DKI Jakarta dan DIY. Di luar itu, UMP tidak dipakai. Yang dipakai UMK dan upah minimum sektoral," katanya.
Menurutnya, dalam RUU Cipta kerja, UMK dan UMSK yang selama ini berlaku dihapus. Berarti upah minimum hilang.
Kalau dipaksakan UMP Jawa Barat Rp 1,8 juta, katanya, UMK Kabupaten Bekasi yang besarnya Rp 4,4 juta, jadi turun.
Poin kedua yang ditolak adalah terkait pesangon. Dia memprotes ketentuan yang menyebutkan besaran pesangon yang harus dibayarkan maskimal hanya 17 kali gaji.
Ketiga, Said menyebut draft RUU Cipta Kerja membebaskan penggunaan tenaga kerja outsourcing di semua jenis pekerjaan dengan jam kerja tak terbatas.
Baca: UPDATE Limbah Radioaktif di Serpong, Mulai Hari Ini 9 Warga Batan Indah Diperiksa Kadar Radiasi
Baca: Jaksa Benarkan Kelakukan Putra Ratu ELizabeth II, Pangeran Andrew Meraba Wanita di Depan Staf
"RUU cipta kerja bolehkan karyawan kontrak dan outsourcing bebas. Itu nyambung ke yang sebelumnya, berarti hilangkan pesangon dong. Bu Menaker bilang ada sweetener 5 bulan. Kita enggak butuh itu, butuhnya job security dan salary security," katanya.
Keempat, jam kerja yang dinilainya eksploitatif. Kelima, adanya potensi penggunaan tenaga kerja asing (TKA) unskilled workers atau buruh kasar.