Cerita Artidjo Alkostar Pernah Dilobi Pengusaha Asal Surabaya: Keluar Atau Kursi Anda Saya Terjang
Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Artidjo Alkostar mengaku dirinya pernah dilobi seorang pengusaha asal Surabaya, Jawa Timur.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Artidjo Alkostar mengaku dirinya pernah dilobi seorang pengusaha asal Surabaya, Jawa Timur.
Artidjo Alkostar saat itu masih menjabat sebagai Hakim Agung.
Ia menuturkan pihak berperkara tersebut menemui dirinya dengan bantuan pegawai Mahkamah Agung (MA).
Baca: Soal Proses Audit Pimpinan KPK Terkait Penghentian 36 Perkara, Artidjo Lempar ke Tumpak
"Loh, apa ini? detik ini Anda keluar. Kalau tidak, kursi Anda saya terjang atau saya suruh tangkap," ujar Artidjo Alkostar saat memberikan pemaparan 'Tujuh Delik Tindak Pidana Korupsi' di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Selasa (25/2/2020).
Tidak berhenti di situ, Artidjo mengatakan pengusaha itu mencari jalan lain yakni dengan meminta rekening dan menyerahkan salinan cek.
Merespons ini, ia justru mengultimatum pengusaha tersebut supaya berhenti melakukan cara-cara kejahatan.
Baca: Gedung KPK dan Istana Presiden Kebanjiran, DPRD Justin Bandingkan Penanganan Banjir dengan Formula E
"Saya bilang dengan pedas, saya terhina dengan saudara itu. Jangan dilanjutkan lagi, kalau dilanjutkan urusannya menjadi lain," katanya.
Selain itu, Artidjo juga pernah berhadapan dengan rekannya yang menjadi kuasa hukum seorang terdakwa korupsi.
Ia menyatakan perkara yang ditangani rekannya itu tidak asing di telinga masyarakat.
Hanya saja, ia tidak menyebut secara gamblang siapa terdakwa dan perkara yang dimaksud.
Terdakwa itu, kata dia, meminta tolong kepada kuasa hukum agar bisa bertemu dengannya.
Namun, Artidjo menolak karena paham akan kode etik profesi.
Baca: KPK Periksa Dirut PT Waskita Transjawa Toll Road Terkait Korupsi 14 Proyek Fiktif
"Tidak bisa bertemu, lalu dia datang ke keponakan saya di Situbondo. Bilanglah ke pak Artidjo. Loh, tidak ada yang berani, enggak pernah ada orang yang berani berhubungan, takut semua sama pak Artidjo," tutur Artidjo.
Menurut pengakuan Artidjo, terdakwa itu bahkan sempat menyerahkan cek kosong yang bebas diisi dengan angka sesuka hati demi meringankan hukuman yang menjeratnya.
Lebih lanjut, Artidjo pun berujar pernah dihadapkan dengan pengacara yang ia segani.
Berdasarkan cerita dia, pengacara itu meminta dirinya agar bertemu kliennya yang sedang terjerat proses hukum.
"Kalau sekarang mohon maaf tidak bisa. Salam takzim saja saya untuknya karena itu melanggar kode etik," ujarnya lagi.
Dalam agenda itu, Artidjo turut menyinggung penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
Ia berpendapat bahwa terdapat perbedaan substansial dari kedua pasal tersebut.
Dua pasal itu membuat perbedaan hukuman terhadap terdakwa.
"Pasal 2 dan 3. Pasal 2 itu memperkaya, setiap orang yang memperkaya diri sendiri dan korporasi yang merugikan negara, korupsi. Kalau pasal 3 menyalahgunakan wewenang, menguntungkan diri sendiri dan orang lain, itu korupsi," jelas Artidjo.
Artidjo sepakat bahwa korupsi di atas Rp 100 juta terbilang signifikan dan masuk kategori memperkaya diri sendiri.
Atas dasar itu, penambahan hukuman bagi koruptor di tingkat kasasi memiliki alasan kuat.
"Itu sebenarnya pasalnya berbeda. Pasalnya. Hakim itu tidak boleh seenaknya sendiri, ini kok kurang berat lalu ditambah begitu, enggak bisa begitu. Itu pasalnya yang berbeda," katanya.
"Jadi, kalau Rp100 juta waktu itu, di MA kita kenakan pasal 2 minimal 4 tahun," imbuh Artidjo.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.