Legislator PKB Minta Program Restrukturisasi Perbankan Jangan Bebani Nasabah
Hal ini diungkapkan Ela dalam FGD komisi XI DPR RI bersama LPS selaku mitra kerja Komisi XI.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Legislator asal Lampung, Ela Siti Nuryamah menilai penerapan premi program Restrukturisasi Perbankan (PRP) oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada akhirnya akan membenani rakyat, khususnya nasabah perbankan.
Meski premi ini diterapkan untuk perbankan, namun nasabah perbankan akhirnya yang akan menanggung premi ini secara tidak langsung.
Hal ini diungkapkan Ela dalam FGD komisi XI DPR RI bersama LPS selaku mitra kerja Komisi XI.
“Dengan pembayaran premi lagi akan membebankan masyarakat yang menjadi nasabah, karena itu program ini harus benar-benar dikaji secara matang,” kata Ela, Rabu (26/2/2020).
Baca: LPS Akan Perluas Penjaminan Simpanan untuk Dana Haji dan Dana Pensiun
Untuk diketahui PRP atau Program Restrukturisasi Perbankan didasarkan pada Undang-undang nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan dan diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah.
"Meskipun draf PRP sudah rampung dibahas tahun 2019, namun masih menunggu PP tersebut ditandatangani oleh Presiden,” kata Ela.
Dijelaskannya, dalam draf PP tersebut ketentuan pungutan diberikan kepada perbankan kisaran 0,004% hingga 0,007% dari asset, jika asset perbankan dibawah Rp1 triliun maka dikenakan 0%.
“Ketentuan premi itu akan di berlakukan mulai 3 tahun sejak regulasi nya di sahkan. Pungutan tersebut digunakan sebagai dana talangan dalam mencegah terjadinya krisis perbankan," ungkapnya.
Meski premi dibebankan kepada perbankan dengan asset di atas Rp1 triliun, menurut dia masyarakat sebagai nasabah akan terkena dampaknya.
Premi PRP ini sendiri dibayarkan di luar premi penjaminan LPS sebesar 0,2% dari total dana pihak ketiga (DPK) bank yang dibayar tiap semester.
“Sudah barang tentu, dengan pembayaran premi lagi akan membebankan masyarakat yang menjadi nasabah,” kata dia.