Pemekaran Papua Diharapkan Tetap dalam Kerangka Otonomi Khusus
Direktur Eksekutif Papua Circle Institute, Hironimus Hilapok menyampaikan beberapa catatan dan analisisnya tentang wacana pemekaran Papua.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Papua Circle Institute, Hironimus Hilapok menyampaikan beberapa catatan dan analisisnya tentang wacana pemekaran Papua.
“Kalau berbicara Papua ini kan persoalan yang besar, tetapi kami mencoba membicarakan salah satu soal yang penting dengan kemunkinan, apakah Pemekaran ini menjadi jalan untuk mencapai kesejahteraan atau tidak,” kata Hiron sapaan Hironimus Hilapok mengawali pandangannya saat diskusi dialektika demokrasi bertajuk “Pemekaran Papua: Sebuah Keniscayaan atau Petaka?” di Media Center Parlemen, Kompleks MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (5/3/2020).
Selain Hiron, diskusi ini juga menghadirkan tiga pembicara yakni anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI sekaligus mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Herman Khaeron; Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOD Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Andi Bataralifu, dan Peneliti LIPI yang juga Koordinator Jaringan Papua Damai, Adriana Elisabeth.
Menurut Hiron, ada tiga kemungkinan kepentingan terkait pemekaran daerah. Pertama, masyarakat memang menginginkan sebuah pemekaran sehingga masyarakat melakukan gerakannya sendiri dengan didorong oleh beberapa elite.
Kedua, pemekaran itu biasa datang dari kepentingan elite sendiri.
“Dari elite yang memperjuangkan pemekaran, tanpa melihat apakah itu menjadi kebutuhan masyarakat atau tidak,” kata Hiron.
Ketiga, ada kepentingan bisnis. Menurutnya, ada kemungkinan ide pemekaran karena ada kepentingan bisnis, apakah itu kemudian diperjuangkan melalui sebuah proses yang benar atau tidak. Mengenai hal ini, kata dia, adalah tugas DPR dan pemerintah untuk menilainya.
Baca: Pemekaran Wilayah Diperlukan untuk Kembangkan Wilayah Penyangga Calon Ibu Kota Negara
Lebih lanjut, mantan Pengurus Pusat PMKRI ini menjelaskan proses perkembangan Papua sejak berintegrasi ke Indonesia pada tahun 1969. Awalnya, kata dia, Papua hanya satu provinsi dan 9 kabupaten melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 1969.
Selanjutnya, pada tahun 1999 melalui Undang-Undang Nomor 45 tahun 1999, provinsi Irian Jaya (Papua, red) dimekarkan menjadi tiga provinsi, tetapi sampai saat ini hanya ada dua saja yakni Provinsi Papua dan Papua Barat.
Namun, pemekaran tersebut mengalami penolakan sehingga muncul UU Otsus Papua Nomor 21 Tahun 2001 dan Papua Barat masuk dalam bagian dari UU Otsus Papua.
Mengenai wacana pemekaran daerah yang mulai mengemuka belakangan ini, Hiron mengaku masih mencermati perkembangan dan dinamika di masyarakat.
Hiron mengakui adanya pro dan kontra di masyarakat terkait pemekaran. Bagi yang pro pemekaran, menurut Hiron, didasarkan pada pertimbangan bahwa pemekaran itu penting sebagai jalan menuju kesejahteraan. Namun, ada juga pandangan bahwa pemekaran itu hanya untuk memecah-belah orang Papua.
“Jadi pro dan kontra itu selalu terjadi baik itu di kalangan elite, di kalangan masyarakat ataupun juga biasanya di kalangan media. Kami melihat secara keseluruhan yang penting adalah isu-isu yang lain tentang posisi orang Papua dalam proses pemekaran itu seperti apa, misalnya sampai dengan hari ini, orang asli Papua di Papua Selatan misalnya jumlahnya makin berkurang, dengan ruang-ruang yang sangat sempit. Apakah pemekaran menjadi penting, ini menjadi pertanyaan,” ujar Hiron.
Pada bagian lain, Hiron juga menyinggug sejumlah isu dan persoalan, misalnya Otsus Papua yang sudah hampir berakhir tahun ini.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.