Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

5 Tipologi Kekerasan di Lingkungan Sekolah: Terbuka, Perseorangan, Agresif, Defensif dan Insidental

Susanto melihat adanya lima tipologi yang dapat menggambarkan potret kasus-kasus penyimpangan di lingkungan satuan pendidikan maupun di komunitas

Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Tiara Shelavie
zoom-in 5 Tipologi Kekerasan di Lingkungan Sekolah: Terbuka, Perseorangan, Agresif, Defensif dan Insidental
Tangkap layar channel YouTube KompasTV
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto 

TRIBUNNEWS.COM - Terkait kasus pelecehan dan perundungan yang menimpa seorang sisiwi SMK di Bolaang Mongondow, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto memberikan pandangannya.

Pertama dirinya mengingatkan kembali sejumlah aturan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

Seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Permendikbud 82 tahun 2015. 

Susanto juga menegaskan betapa pentingnya satuan pendidikan mampu melakukan deteksi terhadap peserta didik di ketika berada di lingkungan sekolah.

"Harus melakukan deteksi dini apakah anak ini potensial menjadi korban atau anak ini menjadi pelaku," ujarnya dikutip dari tayangan YouTube KompasTV, Kamis (12/3/2020).

Baca: Pakar Sebut Pelaku Pelecehan dan Perundungan Siswi di Bolaang Mongondow dalam Fase Iseng

Susanto melihat adanya lima tipologi yang dapat menggambarkan potret kasus-kasus penyimpangan di lingkungan satuan pendidikan maupun di dalam komunitas anak.

Pertama, menurutnya tipologi pertama adalah kekerasan secara terbuka, dimana kekerasan biasanya dilakukan secara berkelompok. 

Berita Rekomendasi

"Seperti tawuran dan sebagainya bullying bisa juga antara group dengan group yang sering terjadi. Kasus ini dilakukan tidak satu orang tapi secara berkelompok dan dan itu terbuka," katanya.

Baca: Terjadi di Jam Istirahat, Tersangka Pelecehan Siswi SMK di Bolmong Sulut Bertambah jika Bukti Kuat

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto saat jadi pembicara dalam program Sapa Indonesia Pagi KompasTV (Tangkap layar channel YouTube KompasTV)

Kelompok kedua kekerasan dengan tipologi yang mana dilakukan secara perseorangan. 

Biasanya berupa ancaman di suatu tempat tertentu

"One by one," tegas Susanto 

Sedangkan kekerasan agresif menjadi tipologi yang ketiga. 

Susanto mencontohkan kekerasan ini seperti memalak teman sebaya baik barang atau hal lainnya. 

Tipologi kekerasan keempat adalah defensif yang mana dalam banyak kasus anak terpakas melakukan kekerasan untuk melindungi dirinya dari suatu ancaman.

"Terakhir tipologi kekerasan yang secara insidental. Bentuk ini serkiang kali terjadi karena terkondisikan oleh lingkungan"

"Anak mencoba becanda sebagai respot dan kemudian melakukan bullying atau kekerasan terhadap temannya," beber Susanto.

Melihat lima tipologi kekerasaan di atas, Susanto berjanji akan melakukan koordinasi untuk memastikan motif di balik kasus pelecehan dan perundungan yang menimpa seorang sisiwi SMK di Bolaang Mongondow ini

"Yang penting di dalami adalah, apakah ini anak-anak sering melakukan hal tersebut sehingga dianggap bercanda"

"Atau karena hal lainnya. Dan kasus ini segera diselesaikan sebagai bentuk upaya perbaikan pelayanan pendidikan," tutupnya. 

Baca: Puluhan Wanita Mengadukan Aksi Pelecehan Seksual Harvey Weinstein, Produser Film Ini Sempat Berkelit

Tanggapan Ketua Asosiasi Psikologi Forensik

Ketua Asosiasi Psikologi Forensik, Reni Kusumowardhani
Ketua Asosiasi Psikologi Forensik, Reni Kusumowardhani (Tangkap layar channel YouTube KompasTV)

Ketua Asosiasi Psikologi Forensik, Reni Kusumowardhani mengatakan kasus tersebut harus diperhatikan secara seksama sehingga mengetahui secara pasti penyebab pelecehan dan perundungan tersebut.

"Kita lihat ini dilakukan oleh remaja. Di mana perundungan ini dilakukan secara bersama-sama," ujarnya.

Reni memandang remaja pelaku kasus tersebut dalam masa fase iseng, yang mana membuat mereka dimungkinkan melakukan hal iseng-iseng lainnya.

Baik di lingkungan masyarakat bahkan saat berada di sekolah.

Sehingga dirasa perlu untuk membuat sistem pengendali penekan dorongan remaja untuk berperilaku iseng.

"Anak-anak ini memang di fase iseng, banyak keisengan yang sangat mungkin dia lakukan, sehingga yang paling diperlukannya sistem kendali," tandas Reni.

Reni melanjutkan, rasa iseng tersebut mungkin berasal dari kebiasan dalam keseharian masyarakat saat ini.

Baca: Fakta Pelecehan Seksual di Gang Ciracas, Beraksi 6 Kali hingga Pelaku Sudah Berkeluarga, Motifnya ?

Ia memisalkan saat orang lain terpeleset atau jatuh, bukan pertolongan tapi sorakan kegembiraan yang diberikan.

"Kita lihat orang jatuh teriak hore dan diketawain. Melihat orang menderita jadi bahan tertawaan"

"Ini bisa menjadi pencetus keisengan-keisengan lainnya. Mungkin betul tujuan para pelaku untuk sekedar bersenang-senang saja," imbuh Reni.

Reni menekankan apa yang diyakini oleh pelaku tentu tidak sama dirasakan oleh siswi yang menjadi korban pelecehan dan perundungan.

"Ada empati yang dilupakan di sini, mereka lupa bahwa korban ini akan begitu sangat menderita," tuturnya.

Untuk itu Reni meminta semua pihak yang berkepentingan untuk melakukan penulusuran secara mendalam.

Sehingga akan diketahui secara jelas motif pelaku melakukan hal tercela tersebut.

"Pelaku anak-anak apa memiliki kecenderungan agresivitas seperti itu"

"Atau memang ini konformitas remaja yang kurang teladan, kurangnya perkembangan rasa empati" tegasnya.

Lihat pernyataan Ketua Asosiasi Psikologi Forensik, Reni Kusumowardhani dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto di SINI

(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas