Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tidak Terima Diberhentikan DKPP Dari KPU RI, Evi Novida Ginting Mengadu ke Ombudsman

Evi Novida Ginting Manik mengadu ke Ombudsman RI karena tidak terima dirinya dipecat dari jabatan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Tidak Terima Diberhentikan DKPP Dari KPU RI, Evi Novida Ginting Mengadu ke Ombudsman
Tribunnews.com/ Chaerul Umam
Evi Novida Ginting Manik mengadu ke Ombudsman RI, Senin (23/3/2020). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Evi Novida Ginting Manik mengadu ke Ombudsman RI karena tidak terima dirinya dipecat dari jabatan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Evi Novida Ginting Manik diberhentikan tetap dari jabatan anggota KPU berdasarkan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP).

Setelah melayangkan surat keberatannya kepada DKPP, Evi mendatangi kantor Ombudsman, Senin (23/3/2020) untuk mengadu perihal pemberhentiannya.

Baca: Evi Novida Minta Jokowi Tunda Pelaksanaan Putusan DKPP

Ia menuding pemberhentiannya tersebut maladministrasi.

"(Itu) Maladministrasi. Walaupaun langit akan runtuh, tetapi keadilan harus ditegakkan," ujar Evi di Kantor Ombudsman, Jakarta Selatan.

Sebelumnya, pagi harinya Evi meminta agar pihak DKPP membatalkan putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/2019.

BERITA REKOMENDASI

Upaya permintaan itu disampaikan secara langsung Evi dengan cara melayangkan surat berupa keberatan administratif kepada DKPP.

Evi menyerahkan surat itu secara langsung ke kantor DKPP, Thamrin, Jakarta Pusat.

Pada saat menyerahkan surat itu, dia didampingi Ketua KPU RI, Arief Budiman, serta tiga orang komisioner KPU lainnya, yaitu Ilham Saputra, Viryan Aziz, dan Pramono Ubaid.

"Kepada DKPP untuk membatalkan putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/2019," ujar Evi, saat menyerahkan surat keberatan kepada DKPP di kantor DKPP, Senin (23/3/2020).

Dia menilai putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/2019 itu cacat prosedur baik pada mekanisme beracara maupun dalam proses pengambilan keputusan.

Baca: Datangi Kantor DKPP, Evi Novida Minta Pembatalan Putusan Pemecatan


Menurut dia, majelis DKPP pada saat membacakan putusan itu tidak saja telah mengesampingkan hukum tetapi juga telah secara nyata melanggar asas legalitas.

"Sehingga putusan tersebut berpotensi melangar etika penyelenggara pemilu," ujar Evi.

Pada surat keberatan itu, Evi memaparkan empat poin keberatan.

Poin keberatan pertama, dia merasa keberatan terhadap poin kesimpulan putusan DKPP yang menyatakan berdasarkan penilaian atas fakta persidangan sebagaimana yang diuraikan di atas, setelah memeriksa keterangan pengadu, jawaban dan keterangan para Teradu, memeriksa bukti-bukti dokumen yang disampaikan Pengadu dan para Teradu.

Dia mengklaim, majelis sidang DKPP tidak pernah memeriksa keterangan pengadu sebab pada sidang tanggal 13 November 2019 pengadu atas nama Hendri Makaluasc pada saat diminta keterangan justru membacakan surat pencabutan laporannya/pengaduannya, dan pada sidang 17 Januari 2020, pengadu maupun pengacara tidak lagi menghadiri sidang DKPP.

Poin keberatan kedua, kata dia, DKPP memperlakukan perkara itu berbeda dengan perkara lainnya. Hal ini, karena menyatakan DKKP dalam memeriksa dan memutus laporan dugaan pelanggaran etik, DKPP tidak terikat dengan laporan pengadu.

Poin keberatan ketiga, dia membeberkan, rapat pleno putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 rapat pleno hanya dihadiri oleh 4 (empat) orang anggota DKPP.

Mereka yaitu, Muhammad selaku Plt. Ketua merangkap Anggota, Alfitra Salam, Teguh Prasetyo, dan Ida Budhiati.

Padahal, dia mengungkapkan, jika mengacu Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, yang menyebutkan:

“rapat pleno Putusan dilakukan secara tertutup yang dihadiri oleh 7 (tujuh) orang anggota DKPP kecuali dalam keadaan tertentu dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang”.

Poin keberatan keempat, dia melanjutkan pengambilan keputusan di KPU diambil melalui mekanisme rapat pleno mengusung prinsip kolektif kolegial.

Dia membantah memiliki tanggungjawab etik lebih besar atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan akibat penetapan hasil Pemilu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas dan kredibilitasnya, seperti yang dicantumkan pada poin pertimbangan putusan DKPP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas