Opsi Darurat Sipil Tidak Sesuai dengan Kondisi Indonesia Saat Ini
Ia menilai dalam penerapan darurat sipil, tentunya tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi warganya
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai langkah pemerintah yang memilih menerapkan darurat sipil dibandingkan karantina wilayah dalam pencegahan penyebaran virus corona (Covid-19) sebagai hal yang kurang tepat.
Ia menilai dalam penerapan darurat sipil, tentunya tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi warganya.
Baca: Ekonom Pertanyakan Keputusan Pemerintah Terapkan Darurat Sipil Cegah Penyebaran Virus Corona
Hal inilah yang ia khawatirkan.
Karena semakin melesunya perekonomian Indonesia akibat virus corona tentu berdampak pada terbatasnya kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup.
"Berbeda dari karantina wilayah, dalam darurat sipil, kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok itu tidak ada," ujar Bhima, kepada Tribunnews, Selasa (31/3/2020) siang.
Menurut Bhima, darurat sipil hanya terkait dengan pembatasan hak sipil bagi warga saat terjadi situasi seperti perang.
Berbeda dengan situasi yang terjadi saat ini yang disebabkan wabah penyakit.
"Darurat sipil lebih bicara pada persoalan pembatasan hak-hak sipil ketika terjadi kondisi darurat semacam perang, dan situasi yang mengancam negara," jelas Bhima.
Perlu diketahui, munculnya opsi darurat sipil sebenarnya tercantum dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959.
Dalam pasal 1 pada Perpu ini, terdapat 3 poin yang menjadi pertimbangan pada penerapan darurat sipil.
Yang pertama adalah keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
Kemudian yang kedua adalah timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga.
Lalu yang ketiga adalah hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.
Melihat Perpu tersebut, Bhima menilai opsi darurat sipil tidak sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini jika dilihat dari perspektif ekonomi.
Karena menurutnya, kehadiran negara sangat berbeda antara opsi darurat sipil dan karantina wilayah.
"Jadi dalam perspektif ekonomi, darurat sipil jelas lebih buruk dari karantina wilayah karena kehadiran negara sama sekali berbeda di dua kebijakan yang kontras itu," tegas Bhima.
Lebih lanjut ia melihat pemerintah cenderung menghindari opsi karantina wilayah yang merujuk pada Undang-undang (UU) Kekarantinaan Kesehatan Tahun 2018 tentang kewajiban pemerintah memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyatnya jika terjadi kondisi yang disebabkan munculnya wabah penyakit.
"Pemerintah seakan menghindari tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok," kata Bhima.
Baca: Pantau Pergerakan Pemudik di Tengah Pandemi Virus Corona, Desa Diminta Buat Pos Jaga Gerbang
Pemerintah memang saat ini memilih untuk menggunakan opsi darurat sipil dibandingkan karantina wilayah.
Padahal sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani UU Kekarantinaan Kesehatan Tahun 2018 untuk menjadi payung hukum dalam upaya penanggulangan wabah penyakit.