Unicef Ingatkan Stay at Home Kesempatan Orang Tua Merajut Kembali Kebersamaan dengan Anak
Child Protection Specialist dari Unicef Indonesia, Astrid Gonzaga Doniso melihat penerapan stay at home memiliki kesempatan sekaligus tantangan
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
"Anak SD kalau tidak di sekolah kan menganggap dirinya libur," imbuhnya.
Oleh karena itu, Yudi menekankan betapa pentingnya orangtua dalam mengubah maindset dari sang anak utamanya dengan memberikan contoh.
"Meskipun ayah sama ibu di rumah kan masih bekerja, nah sekarang waktunya kamu sekolah tempatnya belajarnya di rumah karena diluar kondisinya seperti itu," kata Yudi mencontohkan.
Ia menilai dengan memberikan contoh akan semakin mudah orangtua memberikan pemahaman kepada anak.
Selain cara tersebut, komitmen orangtua juga dinilai penting.
"Misalkan tidak dibutuhkan aktivitas televisi bisa dimatikan sementara"
"Kalau pembelajarannya offline, internet bisa di-off-kan. Orangtua juga komitmen untuk itu," kata Yudi menekankan.
Baca: GAPMMI Tak Pikirkan Untung Rugi, Fokus Bantu Pemerintah Lawan Covid-19
Cara mencegah anak cepat bosan
Yudi menyakini dengan berbagai kebijakan pembatasan seperti social distancing, work from home, dan pembelajaran dari rumah bisa membuat anak cepat bosan.
Untuk itu penting bagi orangtua mulai berkreasi untuk menciptakan aktivitas baru dengan melibatkan anak tanpa perlu keluar dari rumah.
Yudi menjelaskan orangtua pada zaman dahulu sudah terbiasa melakukan berbagai hal menarik dengan anak-anaknya.
"Seperti bercocok taman, bermain di sekitar rumah, membuat mereka tidak jenuh. Sekarang kan susah anak diberikan mainan secara individual tanpa peran orangtua," imbuhnya.
Yudi menyarankan kegiatan seperti mengajak anak memasak atau mendongeng mampu menghilangkan rasa bosan dalam diri mereka.
Utamanya aktivitas yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.
Yudi juga meminta orangtua bisa mengontrol penggunaan teknologi secara belebihan sebagai hiburan anak.
Ia memandang meskipun memiliki berbagai kelebihan, teknologi juga tidak luput dari kekurangan.
"Dengan bermain smartphone misalnya, anak menjadi individual dan tidak membangkitkan rasa empati atau rasa kebersamaan dengan orang sekitarnya," tandasnya.