Pengakuan Kepala BPJN XII nonaktif Terkait Suap Proyek Jalan di Kalimantan Timur
Refly diduga terlibat Proyek Reservasi Rekonstruksi Jalan Nasional dari ST 3 Lempake -ST Sambera-Santan-Bontang-Dalam Kota Bontang-Sangatta
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala nonaktif Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah XII, Refly Ruddy Tangkere (RRT) menjalani proses hukum atas kasus dugaan suap proyek jalan di Kalimantan Timur tahun anggaran 2018-2019.
Refly diduga terlibat Proyek Reservasi Rekonstruksi Jalan Nasional dari ST 3 Lempake -ST Sambera-Santan-Bontang-Dalam Kota Bontang-Sangatta senilai Rp155 Miliar tahun 2018-2019.
Pada Rabu (6/5/2020), RRT menjalani sidang pemeriksaan terdakwa. RRT, melalui penasihat hukum, Pahrozi, mengungkap asal muasal proyek yang merugikan negara tersebut.
Baca: Biaya Politik Jadi Celah Terjadinya Korupsi di Sektor Sumber Daya Alam
Baca: Jokowi Minta Kepala PPATK Dian Ediana Rae Perhatikan Masalah Korupsi dan Terorisme
"Berdasarkan keterangan saksi khususnya Totok Hasto Wibowo, Kasatker (Kepala Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (PJN) II Kaltim) dan keterangan terdakwa tak ada kehendak bersama, tak ada niat bersama, tak ada pembagian tugas melakukan apa sehingga masing-masing menerima uang," ujar Pahrozi setelah persidangan, Rabu (6/5/2020).
Merujuk surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan PT Harlis Tata Tahta (PT HTT) milik Hartoyo (HTY, selaku Direktur pemenang lelang untuk proyek).
Baca: Kejaksaan Agung Periksa Sejumlah Pejabat Bea dan Cukai Terkait Dugaan Korupsi Importasi Tekstil
Di proses pengadaan proyek, HTY sepakat memberikan "commitment fee" sebesar total 6,5 persen dari nilai kontrak setelah dikurangi pajak. kepada RRT dan Andi Tejo Sukmono (ATS, Pejabat Pembuat Komitmen di Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional XII Balikpapan).
"Commitment fee" itu diduga diterima RRT dan ATS melalui setoran uang setiap bulan dari HTY baik secara tunai maupun transfer. RRT diduga menerima uang tunai dari Hartoyo sebanyak delapan kali dengan besaran sekitar Rp200-Rp300 juta dengan jumlah total Rp2,1 miliar terkait pembagian proyek-proyek yang diterima Hartoyo.
Pahrozi menjelaskan pihak KPK berupaya
menghubungkan kegiatan ATS dengan terdakwa RRT. Padahal, kata dia, tidak ada kaitan erat, tidak ada korelasi, dan tidak ada hubungan kerja serta perintah atasan bawahan.
"Jadi semua perbuatan berdiri secara masing-masing walaupun kemudian masing-masing menerima uang dari Hartoyo selaku direktur PT HTT," ujarnya.
Dia menambahkan, kliennya tak terkait proses lelang, penetapan lelang, hingga ke penetapan pemenang. Selain itu, Pahrozi menambahkan kliennya tidak ikut berperan dan tidak berwenang menentukan HTT sebagai pemenang proyek tersebut.
"Ini sudah fakta persidangan. Tidak ada perbuatan bersama-sama sebagaimana didakwakan jaksa kepada Refli dan ATS. Terdakwa sudah mengakui menerima uang tapi tidak ada perintah, tidak ada niatan bersama," tambahnya.
Untuk diketahui, KPK menetapkan Refly Tuddy Tangkere sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait proyek jalan di Kalimantan Timur tahun anggaran 2018-2019.
Tak hanya Refly, dalam kasus ini, KPK juga menjerat Pejabat Pembuat Komitmen di Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional XII Balikpapan, Andi Tejo Sukmono dan Direktur PT Harlis Tata Tahta, Hartoyo.
Kasus ini bermula saat Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah II Provinsi Kalimantan Timur mengadakan Pekerjaan Preservasi, Rekonstruksi Sp.3 Lempake-Sp.3 Sambera - Santan - Bontang - Dalam Kota Bontang - Sangatta dengan skema pembiayaan tahun jamak 2018-2019. PT Harlis Tata Tahta milik Hartoyo merupakan pemenang lelang proyek senilai Rp 155,5 miliar.
Dalam proses pengadaan proyek ini, Hartoyo diduga memiliki kesepakatan untuk memberikan commitment fee sebesar total 6,5% kepada Refly Tuddy Tangkere dan Andi Tejo Sukmono.
Commitment fee tersebut direalisasikan Hartoyo melalui setoran setiap bulan baik secara tunai maupun transaksi antar-rekening kepada Refly Tuddy Tangkere dan Andi Tejo Sukmono. Refly setidaknya telah menerima uang tunai sekitar Rp 2,1 miliar secara tunai dalam delapan tahap dengan besaran masing-masing pemberian uang sekitar Rp200-300 juta.
Sementara Andi Tejo Sukmono diduga menerima setoran uang dari Hartoyo setiap bulannya melalui rekening atas nama BSA yang diduga sengaja dibuat untuk digunakan Andi Tejo Sukmono untuk menampung setoran dari Hartoyo. Tak hanya itu, Andi Tejo juga menguasai buku tabungan dan kartu ATM rekening tersebut serta mendaftarkan nomor teleponnya sebagai akun SMS banking.
Rekening tersebut dibuka pada tanggal 3 Agustus 2019 dan menerima transfer dana pertama kali dari Hartoyo pada tanggal 28 Agustus 2019 yaitu sebelum PT Harlis Tata Tahta diumumkan sebagai pemenang lelang pekerjaan pada tanggal 14 September 2019 dan menandatangani kontrak pada 26 September 2019.
Rekening tersebut menerima transfer uang dari Hartoyo dengan nilai total Rp1,59 miliar dan telah digunakan untuk kepentingan pribadinya sebesar Rp630 juta. Selain itu, Andi Tejo juga beberapa kali menerima pemberian uang tunai dari Hartoyo sebesar total Rp3,25 miliar.
Uang yang diterima oleh Andi Tejo dari Hartoyo tersebut salah satunya merupakan sebagai pemberian 'gaji' sebagai PPK proyek pekerjaan yang dimenangkan oleh PT HTT. 'Gaji' tersebut diberikan kepada ATS sebesar Rp250 juta setiap kali ada pencairan uang pembayaran proyek kepada PT HTT. Setiap pengeluaran PT HTT untuk gaji PPK tersebut dicatatkan oleh ROS Staf keuangan PT HTT dalam laporan perusahaan.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Refly Tuddy Tangkere dan Andi Tejo Sukmono didakwakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.