Marsinah dan 8 Mei Trending Twitter Jumat, 8 Mei, Cerita Tak Berujung hingga Drama Ratna Sarumpaet
Jumat (8/5/2020) hari ini, nama Marsinah dan 8 Mei menjadi trending topik Twitter.
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Nama Marsinah dan tanggal 8 Mei menjadi trending topik Twitter pada Jumat (8/5/2020).
Hingga sore hari, lebih dari 5.000 cuitan yang menyebut Marsinah dan 8 Mei menghiasi beranda media sosial Twitter.
Lalu siapa Marsinah dan ada apa dengan 8 Mei?
Bagi kelompok atau sejumlah warga di Indonesia, nama Marsinah terbilang akrab di telinga.
Ia adalalah seorang perempuan pekerja pabrik yang dianggap sebagai pahlawan dan pejuang suara buruh.
Baca: Buruh Tempuh Jalur Hukum Terkait Surat Edaran THR Menaker
Bahkan di setiap tahunnya, nama Marsinah selalu disertakan dalam aksi unjuk rasa menuntut keadilan.
Marsinah yang ditemukan tewas mengenaskan di hutan setelah berjuang membawa keadilan buruh pabrik tempatnya bekerja.
Selain disuarakan oleh para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), perjuangan Marsinah diwujudkan oleh aktivis Ratna Sarumpaet dalam pentas drama bertajuk Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah pada 1994, dikutip dari Intisari.
Dari suara-suara aktivis tersebut, selebihnya terangkum dalam kisah perjuangan Marsinah membela nasib buruh hingga meninggal dengan luka penganiayaan di tubuhnya.
Marsinah Menentang
Kompas.com memberitakan, Marsinah bekerja pada sebuah pabrik milik PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Dia juga merupakan aktivis dalam organisasi buruh SPSI unit kerja PT CPS.
Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 10 November 1993, sebelumnya dia menyuarakan aksi keprihatinan karena merasa kerap diperlakukan tidak adil oleh pihak pimpinan perusahaan.
Pada waktu itu, buruh di PT CPS digaji Rp 1.700 per bulan.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan Keputusan Menteri 50/1992 yang menunjukkan UMR Jawa Timur adalah Rp 2.250.
Marsinah yang terkenal vokal kemudian berunjuk rasa menuntut kenaikan upah pada 4 Mei 1993.
Ia tampil dengan sederet argumentasi yang merepotkan pimpinannya.
Bahkan, Marsinah lantang menentang permintaan Direktur PT CPS agar pekerja itu bekerja seperti biasanya.
Dia bersama teman-temannya melakukan aksi mogok kerja.
Baca: Soal THR Karyawan/Buruh, Pengusaha Diimbau Tak Manfaatkan Pandemi Covid-19 Sebagai Alasan
"Tak usah kerja," salah satu kata yang terucap dari Marsinah ketika unjuk rasa.
Melihat aksi Marsinah, pimpinan perusahaan membuat rencana untuk menghilangkan nyawanya.
Untuk mempermudah konspirasi jahat itu, diketahui ada serangkaian rapat yang dilakukan.
Pihak perusahaan menilai Marsinah terlalu vokal dan menjadi biang aksi unjuk rasa.
Dikutip Kompas.com dari Harian Kompas yang terbit pada 19 November 1993, rapat dilaksanakan di ruang ukuran 8 x 8 meter tempat kerja direktur CPS cabang Porong.
Rapat dilaksanakan pada 5 Mei 1993 dihadiri beberapa orang petinggi dan satpam perusahaan.
Pihak direktur CPS merencanakan pembunuhan kepada Marsinah dan direktur juga mengancam peserta yang datang untuk rapat itu untuk tutup mulut dan melaksanakan perintahnya.
Apabila rencana itu tak dilaksanakan, pihak direktur akan memberikan pemutusan hubungan kerja kepada yang bersangkutan.
Untuk menindaklanjuti perintah direktur utama PT CPS pada rapat pertama, kemudian dilangsungkan rapat kedua di tempat sama, yang dipimpin direktur PT CPS cabang Porong.
Pada rapat kedua ini direncanakan pembagian tugas rencana menghilangkan nyawa Marsinah, dari orang yang menjemput dan menghilangkan jejak pembunuhan dengan mayat korban dibuang di kawasan daerah Nganjuk.
Drama Ratna Sarumpaet
Diberitakan Intisari, pembunuhan Marsinah, aktivis buruh yang tewas pada 1993, adalah salah satu kasus yang mendorongnya untuk aktif secara politik.
Ratna kemudian mulai menulis naskah pementasan orisinal pertamanya dengan judul Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah pada 1994.
Naskah teater itu ditulisnya selama satu tahun dengan gambaran jalan cerita yang lebih universal.
Tidak spesifik menyoroti Marsinah, namun mengenai nasib orang-orang yang diberlakukan tidak adil yang menuntut hak pada pihak berkuasa.
Pertunjukan teater Marsinah dipentaskan di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 16-19 September 1994.
Drama sepanjang dua jam itu mengambil setting di alam barzakh.
"Siapa yang peduli keadilan, selain korban ketidakadilan. Mereka jarang dibela," ucap Ratna Sarumpaet, sang penulis, sutradara, dan sekaligus pemeran roh wanita di atas panggung, kepada Tabloid Nova edisi September 1994.
Itulah sebabnya, tidak ada kemunculan tokoh Marsinah dalam pertunjukkan.
Sebaliknya, Ratna hanya menampilkan esensi penderitaan yang dialami Marsinah.
Itu bisa menimpa siapa saja, termasuk pada kaum lelaki sekalipun.
Selain penulisannya yang memakan waktu lama, latihan untuk pentas itupun membutuhkan waktu 5 bulan.
Sebelum berlatih, Ratna dan teman-temannya bahkan menyempatkan diri ke Nganjuk, Jawa Timur, untuk berziarah dan mengunjungi keluarga Marsinah untuk meminta izin atas pemakaian nama Marsinah.
Setelah berlarut-larut, atas kasus pembunuhan Marsinah, pada September 1997, Kepala Kepolisian RI menutup kasus itu dengan alasan DNA Marsinah dalam penyelidikan telah terkontaminasi.
Segera setelah penutupan kasus, Ratna menulis monolog Marsinah Menggugat untuk dipentaskan dalam sebuah tur ke sebelas kota di Jawa dan Sumatera.
Monolog ini kemudian dianggap sebagai karya provokatif dan tak jarang dibubarkan oleh pasukan anti huru-hara di beberapa kota saat dipentaskan.
Hal itu membuat rumah Ratna terus diawasi intel.
Semakin kecewa dengan tindakan otokratik Orde Baru Soeharto, selama pemilihan umum 1997, Sarumpaet dan kelompoknya memimpin protes pro-demokrasi.
Hingga akhirnya, pada Maret 1998, Ratna Sarumpaet ditangkap atas satu dari aksinya.
Ia menjadi aktivis terakhir yang dipenjara Orde Baru sebelum Soeharto lengser pada Mei 1998.
Setelah 70 hari dalam kurungan, sehari sebelum Suharto resmi lengser, barulah Ratna Sarumpaet dibebaskan.
(Tribunnews.com/ Chrysnha)(Kompas.com/Aswab Nanda Prattama)(Intisari/Muflika Nur Fuaddah)