Ini 9 Kejanggalan Sidang Kasus Penyerangan Novel Baswedan Versi Tim Advokasi
Ronny dan Rahmat yang disebut sebagai polisi aktif itu melakukan aksinya lantaran rasa benci karena Novel dianggap mengkhianati institusi Polri.
Editor: Hasanudin Aco
Menurut Tim Advokasi, hal ini merupakan upaya sistematis untuk menghentikan upaya membongkar kasus penyerangan Novel Baswedan secara terang.
"Ini tentu sangat merugikan proses persidangan yang seharusnya dapat mendengar keterangan saksi yang dapat memberikan keterangan petunjuk untuk mengungkap kebenaran kasus ini," kata Kurnia.
Kesembilan, ruang pengadilan dipenuhi oleh aparat kepolisian dan orang-orang yang tampak dikoordinasikan untuk 'menguasai' ruang persidangan dalam sidang pemeriksaan saksi korban, Kamis (30/4/2020) lalu.
"Sehingga publik maupun kuasa hukum dan media yang meliput tidak dapat menggunakan fasilitas bangku pengunjung untuk memantau proses persidangan," ucap dia.
Diketahui, dua terdakwa dalam kasus ini, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir didakwa melakukan penyaniayaan berat terencana terhadap Novel dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Ronny dan Rahmat yang disebut sebagai polisi aktif itu melakukan aksinya lantaran rasa benci karena Novel dianggap mengkhianati institusi Polri.
Dalam dakwaan tersebut, mereka dikenakan Pasal 355 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 353 Ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, lebih subsider Pasal 351 Ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Novel disiram air keras pada 11 April 2017 setelah menunaikan shalat subuh di Masjid Al Ihsan yang tak jauh dari rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Akibat penyerangan tersebut, Novel mengalami luka pada matanya yang menyebabkan gangguan penglihatan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "9 Kejanggalan dalam Sidang Kasus Penyerangan Novel Baswedan Menurut Tim Advokasi"
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.