Protokol 'The New Normal', Momentum Wujudkan 'The New Indonesia'
Covid-19 sebagai musuh tak tampak mengingatkan semua bangsa akan tiga ‘senjata utama” yang harus dimiliki untuk memenangkan perang.
Penulis: Abdul Majid
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Protokol 'New Normal' yang diputuskan pemerintah untuk diberlakukan harus dilihat sebagai momentum bagi bangsa Indonesia untuk bangkit dan membenahi kehidupannya kembali.
Momentum ini harus dilihat sebagai langkah awal untuk mewujudkan ketahanan nasional (Tannas) yang akan dan harus diwujudkan dan dimulai dari kondisi New Normal.
Karena itu, dalam konteks New Normal, pemerintah tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri tetapi harus dibantu agar terwujud “The New Indonesia”.
Demikian dijelaskan Alumnus Lemhannas PPSA XXI, AM Putut Prabantoro, yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) di Jakarta, Senin (25/05/2020).
Putut Prabantoro mengibaratkan, melawan Covid-19 adalah perang yang sesungguhnya dan seluruh dunia saat ini berperang melawan virus ini agar dapat kembali ke kehidupan normal.
"Prihatinnya, perang ini sungguh sulit ditentukan kapan berakhir dan dimenangkan mengingat musuh yang dihadapi tak tampak meski ketakutan atau teror yang dibuatnya sudah sangat berdampak pada kehidupan sehari-hari," kata Putut.
Covid-19 sebagai musuh tak tampak mengingatkan semua bangsa akan tiga ‘senjata utama” yang harus dimiliki untuk memenangkan perang.
Perang dimenangkan jika suatu bangsa memiliki ketahanan di bidang pangan, air dan enerji, yang merupakan senjata utama.
Tanpa memiliki tiga senjata utama ini, perang tidak akan dimenangkan oleh bangsa Indonesia.
Hal ini bisa dilihat saat masa darurat dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan, kekhawatiran utama yang muncul adalah apakah pangan masih tersedia.
“Setidaknya dalam waktu satu bulan sudah dua kali yakni April dan Mei 2020, Presiden Joko Widodo mengingatkan masyarakat Indonesia tentang ancaman krisis pangan. Dalam konteks ini, mengingat waktu perang melawan covid tidak berbatas, peringatan Presiden Joko Widodo harus diartikan sebagai kondisi sangat mendesak untuk mewujudkan ketahanan pangan. Jika tidak ada pangan apakah kita tidak akan menanam sendiri, apakah tanahnya ada, dan apakah masyarakat Indonesia mau kembali ke sawah?” tegas Putut Prabantoro.
• Skenario The New Normal Bikin Petugas Medis Gamang, Data Tes Covid-19 Indonesia Paling Buruk
Alumnus PPSA XXI ini juga menekankan, pembentukan karakter bangsa Indonesia, sebagai contoh lain, harus dibangun kembali dengan pendekatan berbeda agar The New Indonesia juga memiliki warga negara yang memiliki wawasan baru dalam ketahanan nasional.
Tanpa pembentukan karakter dengan cara yang berbeda, bangsa Indonesia tidak akan mampu menghadapi tantangan global menuju Tahun Emas 2045.
“Sebagai musuh tak berwujud, Covid tanpa disadari sebenarnya membuka takbir karakter asli suatu bangsa. Secara halus tetapi pasti, Covid memetakan karakter suatu bangsa ketika menghadapi ancaman yang memunculkan batas jelas antara kehidupan dan kematian, antara teknologi dan agama, antara kenyataan dan hoax, atau antara akal sehat dan emosi. Berbagai pertanyaan dapat diajukan termasuk, apakah Indonesia termasuk bangsa yang cuek atau terserah, tahan banting, disiplin, percaya pemerintah, termakan adu domba dan hoax, atau juga bangsa yang bertanggung jawab ?” tanya Putut Prabantoro.