New Normal Dinilai Membahayakan Anak Sekolah Jika Pemerintah Tidak Siap
Yaqut khawatir jumlah anak-anak terkena Covid-19 ketika pemerintah tetap menerapkan new normal di tengah tingginya kasus
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas meminta pemerintah memastikan terlebih data penyebaran Covid-19 telah turun, saat menerapkan new normal atau tatanan hidup baru.
Yaqut menilai, jika penerapan new normal dipaksakan pada saat Covid-19 masih tinggi, maka berdampak bahaya terhadap siswa-siswi yang akan mulai beraktivitas kembali di sekolah.
"Kalau sekolah dibuka, sementara otoritas kesehatan kita belum kokoh, apakah tidak semakin banyak anak-anak terkena Covid-19? Ini sangat berbahaya jika pemerintah tidak siap," kata Yaqut dalam diskusi secara virtual, Jakarta, Rabu (27/5/2020).
Yaqut menjelaskan, berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga saat ini ada 800 kasus Covid-19, di mana 129 anak meninggal dengan status pasien dalam pemantauan (PDP).
Baca: Pemerintah Mencatat Ada 49.942 Orang Berstatus ODP dan 12.667 Berstatus PDP di Indonesia
Baca: Pemerintah Disebut Bunuh Pesantren Jika Nekad Terapkan New Normal Saat Kasus Covid-19 Masih Tinggi
"Kemudian ada 14 anak yang meninggal terkonfirmasi positif Covid-19. Anak-anak yang meninggal rata-rata berumur 0 sampai 14 tahun," papar Wakil Ketua Komisi II DPR itu.
Data tersebut, kata Yaqut, sangat mengkhawatirkan dan bakal meningkat jumlah anak-anak terkena Covid-19 ketika pemerintah tetap menerapkan new normal di tengah tingginya kasus.
"Jadi sekarang belum saatnya new normal, saya kira pemerintah harua konsentrasi ke hal terkait kesehatan rakyatnya dulu," ucap politikus PKB itu.