Akademisi Minta DPR Ikut Kritisi Perpres Tugas TNI Tangani Terorisme
Dosen Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar angkat bicara soal Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI Mengatasi Aksi Terorisme.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar angkat bicara soal Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI Mengatasi Aksi Terorisme.
Menurutnya, jika TNI bisa mandiri mengatasi aksi terorisme rawan merusak peran dengan Polri.
Saat ini pembagian nyata antara TNI dan Polri sangat jelas dalam peran pertahanan, keamanan dan sebagainya itu.
Sementara pelibatan militer di luar perannya ditegaskan Zainal seharusnya ketika ada kondisi kondisi khusus.
Baca: Polemik R-Perpres Pelibatan TNI, Leading Sector Penegakan Hukum adalah Polri, Bukan TNI
“Ini gak jelas kondisi-kondisi itu, apalagi ada penggunaan istilah-istilah yang berbeda dengan konsep undang-undangnya seperti penangkalan dan sebagainya. Itukan bisa menimbulkan multi interpretasi,” kata Zainal saat dikonfirmasi, Jumat (29/5/2020) kemarin.
“Kalau UU nya berbeda dengan konsep Perpresnya ya memang jadi masalah. Karena tidak nyambung (UU Teroris dan UU TNI). Tidak tahu apa motivasi pembuatan rancangan perpres tersebut,” tambahnya.
Baca: Pelibatan TNI-Polri untuk New Normal, LBH Jakarta: Pemerintah Pilih Pendekatan Keamanan
Dia juga mempertanyakan keluarnya Rancangan Perpres yang telah diserahkan pemerintah ke DPR awal Mei 2020 lalu itu.
Zainal mewanti-wanti DPR turut mengkritisi alasan keluarnya Rancangan Perpres itu.
Menurutnya masyarakat, diingatkannya tak ragu melakukan gugatan judicial review bila Perpres yang dinilainya berpotensi memunculkan berbagai persoalan itu diberlakukan.
“Perpres ini kan harus dikritisi, jadi DPR juga harusnya menanyakan ke pemerintah maksudnya di balik itu melalui kewenangan pengawasan. Sementara masyarakat sipil barangkali akan melihat kemungkinan judicial review dan sebagainya terhadap Perpres itu,” katanya.
Lebih jauh Zainal mengungkapkan, Perpres tersebut sebaiknya direvisi dengan menyesuaikan poin-poin yang telah disampaikan sejumlah aktivis, akademisi dan tokoh masyarakat melalui petisi beberapa hari lalu.
Baca: Anggota TNI yang Ditembak Polisi Usai Ketahuan Selingkuhi istrinya Meninggal Dunia Kemarin
“Seperti ketidakjelasan konsepsi dan sebagainya karena tidak sama maksud membuat UU dan doktrin pembagian peran TNI dan Polri,” katanya.
Selain Zainal, tokoh lain yang menandatangani petisi tersebut di antaranya Guru Besar Fisipol UGM Prof Mochtar Mas'oed, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid, dan dosen Universitas Paramadina Dr. Phil Shiskha Prabawaningtyas.
Di antara poin yang disampaikan dalam petisi tersebut yaitu bahwa hukum dalam masyarakat demokratik, berfungsi untuk memberi, mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara.
Dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power.
Para tokoh yang menandatangani petisi berkesimpulan bahwa pola penanganan terorisme dengan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI sebagaimana dimaksud dalam draft peraturan presiden tersebut akan membuka ruang dan potensi collateral damage yang tinggi, cenderung represif, stereotyping (stigmatisasi) sehingga menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi di Indonesia.