Mahfud MD: Siapapun yang Korupsi Saat Pandemi Covid Terancam Hukuman Mati
"Saya memastikan barang siapa melakukan korupsi diera sedang terjadi bencana seperti ini maka ancaman hukumannya hukuman mati."
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menegaskan siapapun yang melakukan korupsi di tengah pandemi covid-19 saat ini diancam hukuman mati.
Hal itu mengingat presiden telah menetapkan pandemi covid-19 sebagai bencana nasional non-alam beberapa waktu lalu.
Selain itu menurutnya hal tersebut juga telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Hal tersebut ditegaskan Mahfud ketika menjelaskan terkait sejumlah pasal dalam Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang sebelumnya pernah dituduh sebagai pasal yang dapat melindungi pejabat pemerintah untuk melakukan korupsi di tengah pandemi covid-19.
Baca: KPK-MPR Kerja Sama Membumikan Pancasila dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
Hal itu disampaikan Mahfud dalam Webinar Pancasila bertajuk "Gotong Royong di Tengah Pendemi Covid-19 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada pada Senin (1/6/2020).
Baca: Mahasiswa Laporkan Dugaan Korupsi Proyek Pembangunan Gedung Universitas Negeri Padang ke KPK
"Bahkan saya memastikan barang siapa melakukan korupsi diera sedang terjadi bencana seperti ini maka ancaman hukumannya hukuman mati. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bahwa korupsi itu ancaman hukumanya maksimal 20 tahun atau seumur hidup. Kecuali dilakukan di saat bencana maka ancaman hukumannya bisa hukuman mati. Itu adalah bunyi Undang-Undang," kata Mahfud.
Sebelumnya, Mahfud MD juga menanggapi terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Dalam Penanganan Covid-19 yang dinilai memuat "pasal kebal hukum" bagi pejabat pengambil keputusan tersebut.
Mahfud menilai hal tersebut bukanlah persoalan.
Menurutnya sudah banyak Undang-Undang yang memuat pasal serupa.
Baca: Direktur Pusako Soroti Potensi Korupsi Dalam Pelaksanaan Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19
Ia menyebutkan di antaranya KUHP pasal 50 dan pasal 51, Undang-Undang Bank Indonesia, Undang-Undang Ombudsman, Undang-Undang Pengampunan Pajak, Undang-Undang Advokat, bahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Undang-Undang Advokat.
Hal itu disampaikannya lewat video yang dibagikan Tim Humas Kemenko Polhukam pada Selasa (21/4/2020).
"Yang kedua substansinya, tentang kekebalan hukum, bahwa pejabat-pejabat tertentu yang mengambil keputusan tentang itu tidak bisa diperkarakan. Itu juga bukan soal, udah banyak Undang-Undang yang begitu," kata Mahfud.
Ia pun meminta masyarakat tidak perlu resah dan takut.
"Tidak ada yang perlu resah, masyarakat tidak perlu takut bahwa kira-kira anggaran Jaringan Pengaman Sosial itu akan batal karena ada pengujian, tidak," kata Mahfud.
Baca: Anggota DPRD Sumatera Utara Nyaris Berkelahi Dengan Petugas, Pergoki Dugaan Korupsi Bansos Covid-19
Ia mengatakan, terkait dengan hal-hal yang menyangkut mekanisme dalam proses pengesahan Perppu tersebut merupakan keniscayaan dari demokrasi.
"Kita harus bergairah membahas itu dengan kebaikan bersama. Tidak perlu ada yang panik, takut, marah. Mari kita ketemu di pengadilan, mari kita ketemu di DPR," kata Mahfud.
PPP: Tidak bisa serampangan
Partai Persatuan Pembangunan ( PPP) mendukung sikap Ketua KPK Firli Bahuri yang tegas mengingatkan bahwa pelaku tindak pidana korupsi dana bencana bisa dijatuhi pidana mati.
Namun, Sekjen PPP Arsul Sani menyatakan, tuntutan pidana mati pun tak bisa dilakukan sembarangan.
"Tuntutan pidana mati juga tidak boleh diterapkan secara serampangan, tetapi harus dilihat kasus per kasus korupsi atas dana bencana Covid-19, baik yang untuk penanggulangan langsung pandeminya maupun yang untuk stimulus sosial ekonomi," kata Arsul, Senin (4/5/2020).
Menurut dia, tuntutan pidana mati yang diajukan KPK tetap perlu memperhatikan asas kepantasan atau kepatutan dalam kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan.
"Asas kepantasan ini antara lain meliputi penilaian terhadap besaran jumlah yang dikorupsi, berulang tidaknya perbuatan korupsinya dilakukan, merupakan perbuatan yang direncanakan dengan melibatkan beberapa orang atau bukan, dan sebagainya," ucap Arsul.
Selain itu, lanjut Arsul, peran atau kesertaan mereka yang terlibat dalam kasus korupsi juga perlu diperhatikan.
Ia menjelaskan bentuk-bentuk kesertaan dalam kasus korupsi bisa dikategorikan sebagai pleger, uitlokker, medepleger, dan medeplichtige.
"Selain itu pentingnya juga melihat peran dari mereka yang terlibat dalam kasus korupsi, yakni apakah berkategori sebagai pleger atau pelaku, yang menyuruh melakukan atau uitlokker, orang yang berstatus turut serta melakukan atau medepleger, atau hanya sekedar membantu melakukan medeplichtige," tuturnya.
Baca: 6 Hari Sembunyikan Penangkapan Suami, Widi Mulia Curhat Pada Foto Anak: Kamu Pelipur Hati Ibu
Baca: Dua Polisi Jadi Korban Penyerangan Polsek Daha Selatan, Satu Tewas dan Satu Luka-luka
Baca: PKS Siap Berkoalisi Dukung Anak Maruf Amin Maju Dalam Pilkada Kota Tangerang Selatan
Arsul pun memandang Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan, tak menjadi penghalang bagi KPK untuk mengusut dan menindak dugaan korupsi dana penanganan Covid-19.
Menurut dia, Pasal 27 Perppu 1/2020 yang dikatakan memberikan kekebalan hukum bagi pengambil/pelaksana kebijakan, mengatur imunitas bersyarat.
"Syarat yang ada ialah terpenuhinya asas iktikad baik dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan keputusan apa yang dimuat dalam perppu," tutur Arsul.
"Juga apakah secara nyata ada-tidaknya pengabaian dan pelanggaran terhadap peraturan perundangan lainnya. Jadi pasal itu bukan tameng bagi pejabat fiskal dan moneter yang tidak bisa ditembus," kata dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com https://nasional.kompas.com/read/2020/05/04/10531891/ppp-tuntutan-mati-dalam-korupsi-bencana-covid-19-tak-bisa-serampangan