Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

RUU Ciptakerja Dinilai Bukan Ancaman untuk Buruh, Ini Penjelasan Pengamat

RUU Cipta Kerja memiliki keberpihakan terhadap pengusaha karena inti dari UU itu adalah untuk menciptakan lapangan kerja di banyak sektor

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in RUU Ciptakerja Dinilai Bukan Ancaman untuk Buruh, Ini Penjelasan Pengamat
Surya/Ahmad Zaimul Haq
Ribuan buruh yang tergabung dalam Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) Jawa Timur menggelar aksi pemanasan menolak Omnibus Law, di Kota Surabaya, Jawa Timur, Rabu (11/3/2020). Aksi yang sengaja dipusatkan di Bundaran Waru karena tempatnya strategis untuk menyuarakan penolakan Omnibus Law dan 11 Maret ini merupakan momen penting untuk menyampaikan kepada pemerintah pusat agar tidak membahas RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) dengan DPR RI. Surya/Ahmad Zaimul Haq 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ketenagakerjaan dari Indonesian Consultant at Law (IClaw) Hemasari Dharmabumi mengatakan, buruh harus realistis dalam menilai RUU Cipta Kerja.

Ia menyebut, RUU tersebut justru membuat buruh memiliki posisi tawar terhadap pemerintah.

"Jadi penciptaan lapangan pekerjaan oleh pemerintah ini jangan dilihat oleh buruh atau serikat buruh sebagai ancaman. Justru ini adalah era di mana mereka bisa bargaining kepada pemerintah," ujar Hemasari kepada wartawan, Kamis (11/6/2020).

Hemasari pun menyadari jika RUU Cipta Kerja memiliki keberpihakan terhadap pengusaha karena inti dari UU itu adalah untuk menciptakan lapangan kerja di banyak sektor.

Namun, ia mengingatkan keberpihakan itu bukan berarti secara otomatis merugikan buruh.

Baca: Mahfud MD Kembali Bahas RUU Cipta Kerja Bersama Tokoh Serikat Buruh dan Serikat Pekerja

Hemasari mencontohkan terkait upah minimum Kabupaten/Kota dalam RUU Cipta Kerja dihilangkan. Nantinya upah minimum dikategorikan sebagai upah minimum provinsi, UKM, hingga padat karya.

Berita Rekomendasi

"Sekarang yang terjadi upah maksimum kan. Dengan ditetapkannya upah sekian, misalnya di Karawang sebesar Rp4,7 juta ya upahnya segitu aja. Upah minimum dijadikan upah maksimum ini yang tidak benar," ucapnya.

Hemasari menyampaikan kebijakan upah maksimum telah membuat negosiasi upah yang seharusnya terjadi antara pekerja dengan pengusaha tidak berjalan.

Pasalnya, ia mengatakan buruh tidak bisa mengajukan tuntutan kenaikan upah karena dibatasi.

"Jadi serikat buruh harus realistis. Kalau misalnya kita tidak mengundang investasi, tidak membuka lapangan pekerja seluas mungkin akan membuat pengangguran tinggi. Nah pengangguran yang tinggi sebetulnya berdasarkan prinsisp ekonomi itu kesejahteraan buruh jauh dari tercapai," katanya.

Baca: Fraksi Partai Golkar DPR RI Setuju Pasal Terkait Ketentuan Pers Ditarik Dari RUU Cipta Kerja

Di sisi lain, tingginya angka pengangguran berkorelasi langsung terhadap tidak sejahteranya buruh.

Misalnya, pengusaha akan mencari buruh lain ketika ada buruh yang mengajukan kenaikan gaji.

"Kalau pengangguran banyak, lalu buruhnya mau naik gaji kata pengusahanya yasudah saya pecat saja kamu, banyak kok yang masih mau kerja di sini," ucapnya.

Lebih lanjut, Hemasari menambahkan RUU Cipta Kerja nantinya akan memberi kesempatan serikat pekerja berunding dengan perusahaan dalam menciptakan keadilan. Sebab, selama ini ia melihat hal itu tidak terjadi.

Hemasari pun menuturkan RUU Cipta Kerja memuat pasal yang berasal dari banyak UU. Selama ini, tumpang tindihnya pasal di sejumlah UU membuat investasi terhambat.

"Sekarang perusahaan besar atau kecil semua disamaratakan gajinya. Justru ini yang menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Jadi serikat kalau berpikir rasional justru harus mendukung sebuah UU yang memungkinkan tingkat pengangguran berkurang atau tergerus," jelasnya.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas