Novel Baswedan Sejak Awal Yakin Sidang terhadap Polisi yang Serang Dirinya Cuma Formalitas
"Saya prihatin terhadap tuntutan itu," kata Novel Baswedan saat dikonfirmasi Tribunnews.com di Jakarta, Kamis (11/6/2020).
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, menyebut tuntutan ringan terhadap dua terdakwa yang melakukan penyiraman air keras terhadap dirinya sebagai hal yang memprihatinkan.
"Saya prihatin terhadap tuntutan itu," kata Novel Baswedan saat dikonfirmasi Tribunnews.com di Jakarta, Kamis (11/6/2020).
Novel mengaku sejak awal sudah yakin bahwa sidang terhadap dua anggota Polri yang melakukan penyerangan terhadap dirinya itu hanyalah formalitas belaka.
Baca: Usman Hamid: Tuntutan 1 Tahun Terhadap Penyerang Novel Baswedan Cederai Rasa Keadilan
"Hari ini terbukti persepsi yang ingin dibentuk dan pelaku dihukum ringan. Keterlaluan memang, sehari-hari bertugas memberantas mafia hukum dengan UU Tindak Pidana Korupsi tapi jadi korban praktik lucu begini, lebih rendah dari orang yang menghina Pak Jokowi, selamat atas prestasi aparat bapak, mengagumkan," kata Novel lewat kicauan di akun twitter pribadinya. Ia pun mempersilakan Tribunnews.com mengutip kicauan itu.
Tak hanya marah, Novel mengaku miris dengan proses persidangan teror yang membuat kedua matanya terancam mengalami kebutaan.
Baca: Penyiram Novel Baswedan Dituntut 1 Tahun Penjara, Kuasa Hukum: Memalukan, Bukti Ada Sandiwara Hukum
Menurutnya, persidangan ini menjadi ukuran fakta betapa rusaknya hukum di Indonesia.
"Lalu bagaimana masyarakat bisa menggapai keadilan? Sedangkan pemerintah tak pernah terdengar suaranya [abai]," ungkap Novel.
Hal senada disampaikan Tim Advokasi Novel. Tim Advokasi menyatakan tuntutan satu tahun pidana penjara terhadap dua terdakwa peneror Novel menginformasi sandiwara hukum yang selama ini dikhawatirkan masyarakat.
Tidak hanya tuntutan tersebut sangat rendah, Tim Advokasi juga menilai tuntutan tersebut memalukan dan tidak berpihak pada korban kejahatan.
"Terlebih ini adalah serangan brutal kepada Penyidik KPK yang telah terlibat banyak dalam upaya pemberantasan korupsi. Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru Penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elit mafia korupsi dan kekerasan," kata salah seorang anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana dalam keterangan persnya.
Kurnia mengatakan, sejak awal Tim Advokasi Novel Baswedan berulang kali mengungkap banyak kejanggalan dalam persidangan ini.
Beberapa di antaranya, dakwaan Jaksa yang berupaya menafikan fakta kejadian yang sebenarnya dengan hanya mendakwa Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan terhadap kedua terdakwa.
Padahal teror yang dialami Novel berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia.
Dengan demikian, Jaksa seharusnya mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Kejanggalan lainnya, saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan Jaksa di persidangan.
Terdapat setidaknya tiga saksi yang semestinya dapat dihadirkan di Persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
Tiga saksi itu pun pernah diperiksa oleh Penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian.
"Namun, Jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini. Padahal esensi persidangan pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil, sehingga langkah Jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya," katanya.
Kejanggalan lainnya, peran penuntut umum yang terlihat justru seperti pembela para terdakwa.
Hal ini disimpulkan ketika melihat tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa.
Tak hanya itu, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel pun Jaksa seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan Penyidik KPK ini.
"Semestinya Jaksa sebagai representasi negara dan juga korban dapat melihat kejadian ini lebih utuh, bukan justru membuat perkara ini semakin keruh dan bisa berdampak sangat bahaya bagi petugas-petugas yang berupaya mengungkap korupsi ke depan," tegasnya.
Dikatakan, persidangan kasus ini menunjukan hukum digunakan bukan untuk keadilan, tetapi sebaliknya hukum digunakan untuk melindungi pelaku dengan memberi hukuman 'alakadarnya', menutup keterlibatan aktor intelektual, mengabaikan fakta perencanaan pembunuhan yang sistematis, dan memberi bantuan hukum dari Polri kepada pelaku.
Padahal, kata Kurnia Pasal 13 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 menyatakan pendampingan hukum baru dapat dilakukan bilamana tindakan yang dituduhkan berkaitan dengan kepentingan tugas.
Untuk itu, Tim Advokasi Novel Baswedan meminta Majelis Hakim tidak larut dalam sandiwara hukum ini.
Majelis Hakim, katanya, sudah seharusnya melihat fakta sebenarnya yang menimpa Novel Baswedan.
Selain itu, Tim Advokasi juga menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membuka tabir sandiwara hukum ini dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen.
"Kami juga menuntut Komisi Kejaksaan mesti menindaklanjuti temuan ini dengan memeriksa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan," katanya.
Kronologi kasus
Diberitakan sebelumnya, terdakwa pelaku penyerangan Novel Baswedan, Ronny Bugis, dituntut satu tahun penjara karena dinilai telah terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat seperti yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sesuai dakwaan subsider Jaksa Penuntut Umum.
Baca: BREAKING NEWS: Terdakwa Penganiaya Novel Baswedan, Ronny Bugis Dituntut 1 Tahun Penjara
Tuntutan tersebut dibacakan Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Kamis (11/6/2020) siang.
"Menuntut supaya majelis hakim memutuskan menyatakan terdakwa Ronny Bugis terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana bersama-sama penganiayaan bersama-sama mengakibatkan luka berat. Tindak pidana terhadap Ronny Bugis 1 tahun dan terdakwa tetap ditahan," kata Tim Jaksa Penuntut Umum, pada saat membacakan surat tuntutan.
Selain itu seorang lainnya yang juga merupakan terdakwa pelaku penyerangan terhadap Novel Baswedan, Rahmat Kadir, dituntut satu tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat seperti yang diatur dan diancam pidana Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sesuai dakwaan subsider Jaksa Penuntut Umum.
Tuntutan tersebut dibacakan Tim Jaksa Penuntut Umum di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Kamis (11/6/2020) siang.
"Menuntut supaya majelis hakim memutuskan menyatakan terdakwa Rahmat Kadir Mahulete terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana bersama-sama penganiayaan mengakibatkan luka berat. (menghukum,-red) Tindak pidana terhadap Rahmat Kadir Mahulete 1 tahun dan terdakwa tetap ditahan," kata Tim Jaksa Penuntut Umum, pada saat membacakan surat tuntutan.
Alasan Jaksa ringankan tuntutan
Mereka masing-masing melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat seperti yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sesuai dakwaan subsider Jaksa Penuntut Umum.
Jaksa Penuntut Umum mempertimbangkan hal meringankan pada saat menuntut kedua anggota Polri tersebut. Hal ini dipertimbangkan berdasarkan fakta-fakta yang tersaji di persidangan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Salah satu hal meringankan tuntutan adalah Ronny Bugis dan Rahmat Kadir pernah sama-sama bertugas selama 10 tahun di institusi Polri.
"Terdakwa telah mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun," kata Tim Jaksa Penuntut Umum pada saat membacakan surat tuntutan di PN Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020).
Selain pernah bertugas di institusi Polri, hal meringankan lainnya, yaitu terdakwa belum pernah dihukum dan bersikap kooperatif selama persidangan.
Selain hal meringankan, Jaksa mengungkap hal yang memberatkan perbuatan kedua terdakwa tersebut.
"Perbuatan terdakwa telah mencederai kehormatan institusi Polri," tambahnya.
Selama persidangan terungkap alasan Rahmat Kadir Mahulette melakukan tindak penganiayaan kepada penyidik KPK, Novel Baswedan.
Jaksa memandang Rahmat Kadir bermaksud menyerang dan menimbulkan luka berat kepada Novel karena ingin memberikan pelajaran.
Hal ini, setelah Novel dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI).
Rahmat Kadir berupaya mencari dan akhirnya menemukan alamat Novel dari internet.
Rahmat Kadir selama dua hari berturut-turut pada 8-9 April 2017, melakukan pemantauan ke kediaman Novel. Untuk memantau kediaman Novel, dia meminjam sepeda motor rekannya sesama anggota Polri, yaitu Ronny Bugis.
Pada Senin 10 April, Rahmat Kadir pergi ke Pool Angkutan Mobil Gegana Polri mencari cairan asam sulfat (H2SO4), dan saat itu Terdakwa mendapatkan cairan asam sulfat (H2SO4) yang tersimpan dalam botol plastik dengan tutup botol berwarna merah berada dibawah salah satu mobil yang terparkir di tempat tersebut.
Lalu, Terdakwa membawa cairan itu ke tempat tinggalnya, kemudian menuangkan ke dalam Mug kaleng motif loreng hijau, menambahkannya dengan air, menutupnya dengan menggunakan tutup Mug, membungkus dan mengikatnya menggunakan plastik berwarna hitam.
Pada Selasa 11 April pagi, Rahmat Kadir pergi menemui Ronny Bugis di asrama Gegana Brimob Kelapa Dua Depok sambil membawa cairan asam sulfat (H2SO4) dalam gelas (Mug) kaleng motif loreng hijau terbungkus plastik warna hitam, serta meminta mengantarkannya ke daerah Kelapa Gading Jakarta Utara.
Setiba di tempat tujuan, Rahmat Kadir, menyampaikan kepada Ronny Bugis akan memberikan pelajaran kepada seseorang.
Dia meminta Ronny Bugis mengendarai motornya secara pelan-pelan mendekati Novel sambil bersiap-siap menyiramkan cairan asam sulfat (H2SO4) yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Berdasarkan arahan Rahmat Kadir tersebut, Ronny Bugis mengendarai sepeda motor pelan-pelan, dan ketika posisi Terdakwa Rahmat Kadir berada di atas motor dan sejajar dengan Novel.
Rahmat Kadir langsung menyiramkan cairan asam sulfat (H2SO4) tersebut ke bagian kepala dan badan Novel.
Hal ini sebagaimana VISUM ET REPERTUM Nomor : 03/VER/RSMKKG/IV/2017 tertanggal 24 April 2017 yang dikeluarkan oleh Rumah sakit Mitra Keluarga.