Tuntutan Jaksa dalam Kasus Novel Baswedan Dinilai Rendah, KPK hingga Haris Azhar Ungkap Kekecewaan
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut dua pelaku penyiraman air keras pada Novel Baswedan, dengan tuntutan satu tahun penjara.
Penulis: Nuryanti
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut dua pelaku penyiraman air keras pada Novel Baswedan, dengan tuntutan satu tahun penjara.
Sejumlah pihak pun merasa kecewa, dan menyebut tuntutan tersebut tak sebanding dengan luka yang dialami penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.
Baca: Novel Baswedan Sudah Ragu Sejak Awal hingga Bisa Prediksi Akhir dari Kasusnya: Ini Lelucon Besar
Baca: Penyerang Novel Baswedan Dituntut 1 Tahun Penjara, Begini Respon Polri
Berikut sejumlah pihak yang merasa kecewa, yang Tribunnews.com rangkum dari berbagai sumber:
KPK
Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri menyebut, tuntutan yang dinilai minim itu merupakan ujian bagi rasa keadilan.
”Kasus Novel Baswedan merupakan ujian bagi rasa keadilan dan nurani kita sebagai penegak hukum."
"Karena secara nyata ada penegak hukum, pegawai KPK yang menjadi korban ketika ia sedang menangani kasus-kasus korupsi besar saat itu,” ujarnya, seperti diberitakan Tribunnews.com sebelumnya, Jumat (12/6/2020).
KPK berharap majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dapat memutus seadil-adilnya dengan menjatuhkan hukuman semaksimal mungkin terhadap para pelaku penyiraman air keras tersebut.
Ali juga menyerukan kembali pentingnya perlindungan bagi para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.
Kontras
Dikutip dari Kompas.com, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yani menilai tuntutan tersebut menunjukkan hukum telah tergadai.
"Hukum semakin kehilangan taringnya jika praktik-praktik penegakan hukum seperti kasus ini terus terjadi."
"Hukum menjadi tergadai karena penegakan hukum melalui peradilan seperti kasus ini menjadi pola bagi penegak hukum untuk melindungi pelaku kejahatan dengan tuntutan rendah," ujarnya, Jumat.
Baca: Eks Pimpinan KPK Bandingkan Kasus Novel Baswedan dengan Habib Bahar Bin Smith
Baca: Komisi Kejaksaan Pantau Tim Jaksa Perkara Penganiayaan Novel Baswedan
Tuntutan yang dilayangkan pengadilan terkait kasus Novel juga menunjukkan praktik hukum yang tebang pilih dan diskriminatif.
"Karena tidak mampu melindungi dan memberikan keadilan bagi masyarakat atau orang yang membela kepentingan publik, seperti Novel Baswedan dari serangan kejahatan," terangnya.
Tim Advokasi
Anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana, menilai tuntutan satu tahun dari JPU itu sangat rendah dan memalukan.
"Tuntutan ini tidak hanya sangat rendah, akan tetapi juga memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan," ujarnya, dikutip dari Kontan.co.id, Kamis (11/6/2020).
Penyerangan terhadap Novel dinilai memiliki makna penting bagi ancaman terhadap penegakan korupsi di Indonesia.
Baca: Novel Baswedan Sejak Awal Yakin Sidang terhadap Polisi yang Serang Dirinya Cuma Formalitas
Baca: Penyiramnya Hanya Dituntut Satu Tahun Penjara, Novel Baswedan: Saya Marah Sekaligus Miris
Menurutnya, jaksa seakan berupaya untuk menafikan fakta kejadian yang sebenarnya.
"Padahal kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia," jelas Kurnia.
Haris Azhar
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar, menilai rendahnya tuntutan terhadap dua terdakwa tersebut aneh.
Sebab, teror dan kejahatan itu mengakibatkan terganggunya pekerjaan seorang penegak hukum seperti Novel Baswedan.
"Jadi, tuntutan rendah ini aneh tapi wajar. Aneh, karena kejahatan yang kejam kok hanya dituntut rendah. Jika mereka diyakini pelaku."
"Wajar, ya karena memang (terdakwa) sekadar boneka saja," ujarnya, dikutip dari Kompas.com, Jumat.
Baca: Usman Hamid: Tuntutan 1 Tahun Terhadap Penyerang Novel Baswedan Cederai Rasa Keadilan
Baca: Rahmat dan Ronny Dituntut 1 Penjara, Novel Baswedan: Kebobrokan yang Dipertontonkan
Ia menyatakan, berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan, bukan mereka yang berciri sebagai pelaku kejahatan terhadap Novel.
"Keduanya dipasang untuk mengakhiri polemik kasus Novel yang tidak kunjung jelas. Nuansa rekayasa sangat kental," ungkap Haris.
(Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama, Kompas.com/Rakhmat Nur Hakim, Kontan.co.id/Abdul Basith Bardan)