Apresiasi Pemerintah Tunda Pembahasan RUU HIP, Nasdem: Dari Awal Prosesnya Tidak Dialogis
DPR sebagai pihak pengusul RUU HIP, terutama PDIP seharusnya melibatkan berbagai unsur dalam menyusun RUU HIP.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi Partai NasDem DPR RI mengapresiasi pemerintah yang meminta penundaan pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Wakil Ketua Fraksi NasDem DPR RI Willy Aditya mengungkapkan, sejak awal fraksinya sudah minta RUU itu untuk ditarik dari program legislasi nasional (prolegnas) lantaran pembahasannya tidak bersifat terbuka.
"Tentu kita apresiasi. Dari awal Partai NasDem sudah minta itu dicall (ditarik) karena prosesnya tidak dialogis dan prosesnya tidak memasukkan TAP MPRS XXV/1966," kata Willy saat dihubungi Tribunnews, Rabu (17/6/2020).
Menurut Willy, keputusan pemerintah itu memberikan catatan kritis bagi DPR untuk lebih terbuka saat menyusun undang-undang.
Baca: DPR Sambut Positif Permintaan Pemerintah untuk Menunda Kelanjutan Pembahasan RUU HIP
Ia mengatakan DPR sebagai pihak pengusul RUU HIP, terutama PDIP seharusnya melibatkan berbagai unsur dalam menyusun RUU HIP.
"Nanti ada mekanisme evaluasi prolegnas, ini mungkin akan mulai dari awal lagi gitu untuk kemudian pengusul bisa lebih melibatkan beberapa kelompok-kelompok yang khususnya memberikan masukan," ucap Willy.
"Jadi ini harus dilakukan dialog, tidak hanya sesama fraksi, tidak hanya sesama anggota Baleg (Badan Legislasi) DPR, tetapi juga kelompok-kelompok masyarakat, ormas lembaga-lembaga kajian dilibatkan, juga para cendekiawan," imbuhnya.
Wakil Ketua Baleg DPR RI ini mengungkapkan, terdapat dua pandangan yang berkembang dalam pembahasan RUU HIP.
Pertama, kata Willy, ada perspektif yang mengatakan Pancasila adalah norma yang fundamental dan jangan diturunkan menjadi norma yang lebih teknis.
Pandangan kedua, lanjut Willy, ada juga perspektif yang mengatakan kalau tidak memiliki kerangka petunjuk (guidance), maka nanti labelnya Pancasila namun isinya tidak Pancasila.
Willy menekankan pentingnya dialog untuk mengakomodir semua aspirasi yang ada.
"Saya selaku orang pernah menulis skripsi filsafat Pancasila itu kemudian melihat ada baiknya dua-duanya, harus kita berdialog sampai di mana kita meletakkan itu.
"Karena apa? kita jangan terjebak dalam proses yang namanya romantisme masa lalu, atau traumatik masa lalu, Orde Lama seperti ini, Orde Baru seperti ini," imbuhnya.
Sebelumnya, RUU HIP ini menjadi RUU inisiatif DPR saat Sidang Paripurna DPR RI pada 12 Mei 2020 lalu.
RUU HIP itu mendapat penolakan dari berbagai kalangan sebab dianggap melemahkan Pancasila dan membuka ruang ideologi lain hidup di Tanah Air karena tidak mencantumkan TAP MPRS XXV/1966 sebagai konsideran.
Akhirnya, pada Selasa (16/6/2020), Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Mahfud MD didampingi Menkumham Yasonna Laoly mengatakan pemerintah akan mengirimkan pemberitahuan secara resmi kepada DPR terkait dengan permintaan penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang kini tengah menjadi polemik di masyarakat.
Mahfud mengatakan hal tersebut nantinya akan disampaikan sesuai prosedur yang berlaku kepada DPR.
"Ini saya baru bertemu presiden. Jadi menyampaikan ke masyarakat, juga sekaligus ini pemberitahuan termasuk kepada DPR, tapi tentu resminya ada prosedur nanti. Makanya Menkumham diajak ke sini. Nanti yang akan beri tahu secara resmi sesuai dengan prosedur yang diatur oleh peraturan perundang-undangan bahwa kita meminta DPR menunda untuk membahas itu, itu nanti Menkumham yang akan memberi tahu secara resmi," kata Mahfud dalam video yang dibagikan Tim Humas Kemenko Polhukam pada Selasa (16/6/2020).
Selain itu Mahfud juga menegaskan kembali TAP MPRS Nomor 25 tahun 1966 tentang pelarangan paham Marxisme, Komunisme, dan Leninisme mutlak tetap berlaku
"Tapi substansinya pemerintah sudah sampai sikap tentang TAP MPRS Nomo 25 tahun 1966 mutlak tetap berlaku dan seperti dikatakan Pak Menkumahm tadi itu sebenarnya sudah satu keniscayaan katena sudah diperkuat kembali oleh TAP MPRS Nomor 1 tahun 2003," kata Mahfud.
Mahfud juga menegaskan kembali rumusan Pancasila yang resmi dipakai adalah rumusan Pancasila yang ada di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
"Pancasila yang resmi dipakai adalah Pancasila yang ada di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 yang isinya lima sila dalam satu kesatuan paham dan satu tarikan napas pemahaman," kata Mahfud.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.