Desain RUU Pemilu Harus Disusun secara Rasional dan Dapat Dipertanggungjawabkan
Pengamat politik sekaligus Peneliti senior LIPI Siti Zuhro menyoroti Revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang saat ini sedang bergulir di DPR
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik sekaligus Peneliti senior LIPI Siti Zuhro menyoroti Revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang saat ini sedang bergulir di DPR.
Menurutnya, desain RUU Pemilu harus disusun secara rasional, logis serta dapat dipertanggungjawabkan.
Mengingat pengalaman Pemilu 2019 lalu yang dinilainya luar biasa amburadul.
Mulai dari terjadinya pembelahan sosial yang luar biasa di masyarakat hingga meninggalnya ratusan penyelenggara pemilu.
Baca: Soal Revisi UU Pemilu, Siti Zuhro Ingatkan Pengalaman Buruk Pemilu 2019
"Bahwa desain revisi Undang-undang Pemilu 2020 yang dilakukan saat ini harus sarat dengan visi pembenahan kualitas Pemilu untuk jangka panjang," katanya dalam webinar 'Ambang Batas Pilpres, Kuasa Uang dan Presiden Pilihan Rakyat', Jumat (19/6/2020).
"Beberapa catatan yang saya buat antara lain bagaimana landscape desiain Pemilu kita itu adalah Pemilu yang rasional, logis, yang proporsional dan betul-betul ada nuansa bisa dipertanggungjawabkan," imbuhnya.
Baca: Hanura Anggap RUU Pemilu Dibahas DPR Miliki Pasal Bertentangan dengan UUD 1945
Zuhro menjelaskan buruknya penyelenggaran Pemilu 2019 yang diakibatkan aturan yang ada di UU Pemilu.
Satu diantaranya yaitu ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen yang hanya menghasilkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Hal itu dinilai banyak kalangan membatasi dan menghalangi seseorang berkontestasi dalam pemilihan presiden.
"Kalau mau demokrasi kita cerdas upaya hukum saja gagal. Jadi demokrasi kita tidak menegakkan hukum, apalagi disebutkan sebelumnya ambang batas Presiden itu tidak tertera di manapun, ada uniqueness, keunikan, di Indonesia mungkin negara satu-satunya yang katanya tadi itu mengamalkan dan mempraktikkan dan mengaplikasikan sistem PT (Presidential Threshold) untuk Pilpres," ucapnya.
Lebih lanjut, Zuhro mengungkapkan bahwa dirinya bersama pakar politik lainnya ikut dilibatkan dalam penyusunan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Saat itu para pakar politik yang dilibatkan DPR termasuk dirinya, telah mengingatkan untuk tidak memaksakan penggunaam sistem presidential threshold yang cukup tinggi.
Namun, karena sarat dengan kepentingan politik, akhirnya UU Pemilu itu disahkan tanpa mengindahkan saran dari pakar politik
"Itu yang sebagai intelektual kita mengingatkan jangan, jangan itu diaplikasikan, soalnya ini akan mengancam kepentingan nasional, kita apalagi nanti mengancam negara kesatuan kita dan sebagainya," ujarnya.
"Tapi karena sahwat kepentingan politik dan kita tahu yang memutuskan dan bahkan merumuskan akhir dari undang-undang itu kan bukan kita. Walaupun kita diikutkan itu kan hanya memberikan semacam kontribusi pemikiran dan sebagainya tapi keputusan ada di DPR dan eksekutif dan pemerintah. Baik pemerintah maupun DPR sama-sama adalah orang politik pasti berpikir untuk kepentingan," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.