'Sentilan' 4 Putri Gus Dur kepada Polisi soal Pengunggah Guyonan Sang Ayah yang Diperiksa
Putri putri Gus Dur angkat bicara soal guyonan sang ayah membuat seorang warga diperiksa polisi
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemanggilan seorang pengguna warganet Facebook di Maluku Utara oleh
pihak kepolisian gara-gara mengunggah humor Gus Dur mengenai 3 polisi jujur di Indonesia
mendapat sorotan dari putri-putri Presiden ke-4 RI itu.
Empat putri Gus Dur, yakni Alissa Qotrunnada Wahid, Zannuba Ariffah Chafsoh Wahid alias Yenny Wahid, Anita
Hayatunnufus Wahid, dan Inayah Wulandari Wahid, kompak menyentil polisi atas kejadian tersebut.
Baca: Panggil Warganet Pengunggah Guyonan Gus Dur, Mabes Polri Minta Polres Sula Lebih Teliti
Alissa Wahid, putri sulung Gus Dur, menyentil polisi dengan komentarnya di Twitter.
Psikolog lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini mengunggah foto mantan Kapolri Jenderal Polisi Tirto Karnavian dan kutipan komentarnya tentang humor Gus Dur "3 polisi jujur".
Alissa menulis bahwa Tito yang kini Menteri Dalam Negeri pernah memberikan testimoni saat Haul Gus Dur di Ciganjur pada 2019 lalu.
"Pak Polisi, ada teladan nih dari pemimpin anda semua, mantan Kapolri Jendral Polisi Tito Karnavian, sekarang Menteri
Dalam Negeri," sindir @AlissaWahid.
Dalam testimoninya kala itu, Tito memang sempat mengutip humor Gus Dur tentang "3 polisi jujur".
"Almarhum [Gus Dur sempat menyindir Polri, karena di Indonesia hanya ada 3 polisi jujur. Yang pertama, polisi tidur; kedua, patung polisi; terakhir, Polisi Hoegeng. Ucapan beliau itu menjadi cambukan bagi kami agar Polri sebagai institusi yang lebih baik," kata Tito kala itu.
Kemudian putri ketiga Gus Dur, Anita Hayatunnufus atau Anita Wahid memberikan sentilan jenaka.
Lewat akun @AnitaWahid, Anita menuliskan, "Kalo aku unggah ini, aku bakal diperiksa nggak?".
Dalam kicauan itu, Anita menyertakan gambar karikatur Gus Dur dengan cerita di balik humor "3 polisi jujur".
Si bungsu Inayah Wulandari atau Inaya Wahid memberikan sentilan yang tak kalah jenaka.
Sama seperti sang ayah, Inaya juga melemparkan gurauan sebagai komentar untuk kejadian ini.
Melalui cuitan pada Rabu (17/6), Inaya mengungkapkan bahwa seharusnya polisi bukan menangkap pengguna Facebook yang mengunggah humor Gus Dur "3 polisi jujur" itu, tapi juga si pencetus humor yaitu almarhum Gus Dur sendiri.
"Laaah yg dipanggil kok yg mengquote. Panggil yg bikin joke dong Pak," kicau @inayawahid.
Yenny Wahid, putri kedua Gus Dur, mengingatkan semua pihak untuk tak terlalu sensitif dalam menanggapi ekspresi masyarakat.
Secara khusus, Yenny memberikan imbauan tersebut kepada anggota kepolisian di Polres Sula yang meminta klarifikasi pemuda yang mengunggah celotehan Gus Dur tentang polisi jujur di Indonesia.
"Menurut saya nggak usah terlalu sensitif menanggapi ekspresi masyarakat, apalagi ekspresinya berupa humor, satir. Justru satir itu menguatkan kita menjadi alat untuk saling mengingatkan dan melakukan introspeksi diri," ujar Yenny ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (18/6/2020).
Yenny menyayangkan kasus yang disebutnya seperti mengintimidasi masyarakat tersebut.
Apalagi institusi kepolisian beberapa tahun terakhir banyak menorehkan prestasi dan melakukan pembenahan.
Yenny pun berharap jangan sampai karena beberapa oknum yang terlalu sensitif dalam menanggapi ekspresi masyarakat justru merusak citra Polri di masyarakat.
"Jangan itu dirusak dengan sikap satu dua orang yang over sensitif, terlalu sensitif. Jangan prestasi-prestasi yang bagus itu rusak, gara- gara terlalu berlebihan dalam menangani suatu hal," ungkapnya.
Sebelumnya, kelakar Gus Dur soal polisi membuat seorang pria bernama Ismail Ahmad atau Riman Losen harus berurusan dengan korps Bhayangkara tersebut.
Warga Kabupaten Kepulauan Sulu (Kepsul), Maluku Utara itu dinilai menyebarkan kebencian melalui postingannya di Facebook.
Dalam postingannya di Facebook @MaelSula, Ismail menyebut polisi di Indonesia yang jujur hanya ada 3 yakni patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng.
Pernyataan tersebut diambilnya mengutip dari Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Gus Dur sendiri berucap itu sebagai kelakar.
Ismail mengunggah kutipan itu sekitar pukul 11.00 waktu setempat.
Dua jam kemudian, anggota polisi menjemput Ismail di rumahnya di Kecamatan Sanana, Kepulauan Sula.
Polisi meminta Ismail datang ke Kantor Polres Kepulauan Sula untuk dimintai klarifikasi.
Sempat pulang ke rumah, ia diminta kembali ke kantor polisi pada pukul 21.00.
Malam itu di kantor polisi, Ismain dimintai keterangan untuk dimasukkan ke dalam Berita
Acara Pemeriksaan (BAP).
Polisi menanyainya soal motivasi mengunggah kutipan tersebut.
Tiga jam dimintai keterangan, Ismail dibolehkan pulang.
Namun, ia diwajibkan melapor setiap hari ke kantor polisi.
Ia kemudian juga diminta melakukan konferensi pers permintaan maaf atas unggahannya itu.
Di Kantor Polres Kepulauan Sula, Ismail kemudian membacakan permintan maafnya.
Sebagian kutipan permintaan maaf Ismail seperti ini:
‘Saya selaku pribadi, memohon maaf yang sebesar-besarnya atas postingan saya di media sosial Facebook yang
menyinggung instansi maupun masyarakat. Saya merasa sangat menyesal dan bersalah, serta berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut.’
“Saya tidak mau ada masalah lain,” kata Ismail mengomentari permintaan maafnya.
Saat dikonfirmasi secara terpisah, Kapolres Kepulauan Sula, AKBP Muhammad Irfan membantah pihaknya menangkap Ismail.
Menurut Irfan, polisi hanya meminta klarifikasi terkait isi postingan Ismail tersebut.
Setelah itu Ismail diizinkan pulang.
“Iya, yang bersangkutan kita panggil berkaitan niatnya terhadap postingan tersebut, dan yang bersangkutan mengatakan minta maaf dan tidak bermaksud untuk menyinggung institusi Polri,” kata Irfan kepada Tribunnews, Kamis (18/6/2020).
Irfan memastikan tidak ada proses hukum yang dilakukan kepada Ismail.
Ia juga memastikan permasalahan itu telah selesai usai Ismail datang ke Polres.
"Tidak ada proses hukum karena hanya sekedar klarifikasi saja dan itu sudah selesai karena yang bersangkutan hanya sekedar mengutip pernyataan tokoh almarhum Gusdur," ujarnya.
Meski akhirnya Ismail dilepaskan, tindakan polisi itu tetap menuai kritik.
Alissa Wahid yang merupakan Koordinator Jaringan Gusdurian mengatakan, hal ini tidak baik untuk demokrasi Indonesia.
"(Masyarakat) masih bisa berpendapat dengan bebas. Tapi kalau diterus-teruskan begini, ya bisa mundur kebebasan berpendapat kita," kata Alissa.
"Ini yang saya khawatirkan. Warga merasa tidak merdeka dan melakukan swa-sensor. Padahal ini tidak baik untuk kualitas demokrasi kita," lanjutnya.
Menurut Alissa, esensi demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Karena itu pula suara rakyat menjadi penting. Jika rakyat tidak bersuara, maka mekanisme balancing bagi kekuasaan elite politik bisa terabaikan.
"Pemerintah dan aparat penegak hukum seharusnya menjadi pihak-pihak yang menjalankan mandat kemerdekaan berpendapat di Indonesia. Jadi, kalau lembaga seperti kepolisian mudah- mudah memproses hukum setiap pendapat rakyat, ini sangat disayangkan," tuturnya.
Sementara itu legislator PPP Arsul Sani meminta Kapolri Jenderal Pol Idham Azis memberi arahan kepada anak buahnya agar tidak menggunakan wewenang yang melekat pada polisi untuk melakukan upaya paksa.
"Terkait kasus Polres Sula yang main bawa warga untuk klarifikasi karena posting lelucon Gus Dur, Komisi III minta
Kapolri agar memberi arahan kepada jajarannya," ujar Arsul ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (18/6).
"Arahan agar jangan menyalahgunakan atau mudah menggunakan kewenangan yang melekat pada polisi untuk melakukan upaya paksa," imbuhnya.
Anggota Komisi III DPR RI tersebut menyayangkan tindakan Polres Sula yang membawa Ismail ke kantor polisi untuk diklarifikasi tanpa prosedur pemanggilan terlebih dahulu.
Meski tidak diakui sebagai penangkapan, Arsul yang juga Wakil Ketua MPR RI itu menilai apa yang dilakukan Polres Sula adalah tindakan pelanggaran HAM.
"Itu hakekatnya adalah tindakan pelanggaran HAM, karena memaksa orang untuk ikut ke kantor polisi tanpa prosedur pemanggilan," kata dia.
Terkait tindakan polisi tersebut, ahli psikologi forensik Reza Indragiri juga angkat bicara.
Ia membandingkan sikap antara polisi di Inggris dengan polisi di Indonesia.
Menurut Reza, ada perbedaan psikologi di antara keduanya.
Ia menjelaskan di Inggris pernah ada survei yang menanyakan, kunci yang harus anda miliki agar sukses dalam tugas?'
Sesuai temuan survei tersebut, jawaban terbanyak adalah sense of humor (cita rasa humor).
Pertanyaan yang sama ia ajukan saat mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Saat itu sebagian besar menjawab pemahaman UU.
"Cerminan suasana kejiwaan polisi di sana dan polisi di sini. Di sini, menjadi polisi adalah sama dengan menjadi penegak hukum. Di sana, menjadi polisi berarti menjadi sahabat masyarakat," jelas dia.
Dalam kasus yang menimpa Ismail, Reza melihat adanya selera humor yang rendah dalam kepolisian Indonesia. Hal itu yang kemudian menyebabkan aparat mudah tersinggung.
"Polisi dan semua orang perlu insaf. Bahwa pada orang-orang dengan cita rasa humor yang rendah, semakin gampang tersinggung, semakin rendah pula imunitas tubuhnya. Riset lain, selera humor juga berpengaruh terhadap kemampuan diri dalam menikmati hidup," tutur Reza.
Gus Dur sendiri semasa hidupnya terkenal dengan humor kritis.
Candaan soal polisi itu disampaikan Gus Dur pada tahun 2008.
Saat itu Menristek Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001), Muhammad AS Hikam menyambangi kediamannya. Mereka kemudian membicarakan sejumlah persoalan bangsa, khususnya praktik korupsi yang terjadi di dalam institusi negara.
AS Hikam mencontohkan kasus korupsi BLBI yang tak kunjung menemukan titik terang.
“Kasus yang melibatkan Polri ini apakah saking sudah kacaunya lembaga itu atau gimana ya, Gus? Kan dulu panjenengan yang mula-mula menjadikan Polri independen dan diletakkan langsung di bawah Presiden?” tanya AS Hikam kepada Gus Dur saat itu.
Pembicaraan tersebut juga dimuat oleh AS Hikam dalam bukunya, “Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita” yang diterbitkan tahun 2013.
Gus Dur lalu menjelaskan mengapa ia memisahkan Polri dari TNI.
Menurutnya aparat keamanan dalam negeri dan sipil tidak bisa diatur dengan cara tentara.
Baca: Respons Istana Hingga Yenny Wahid soal Postingan Guyonan Gus Dur yang Berujung Pemeriksaan Polisi
"Setelah reformasi ya harus diubah, maka Polri dibuat independen dan untuk sementara supaya proses pemberdayaan terjadi dengan cepat di bawah Presiden langsung. Nantinya ya di bawah salah satu kementerian saja, apakah Kehakiman seperti di AS atau Kementerian Dalam Negeri seperti di Rusia, dan lain-lain," jelas Gus Dur.
"Nah, Polri memang sudah lama menjadi praktik kurang bener itu, sampai guyonannya kan hanya ada tiga polisi
yang jujur; Pak Hoegeng (Kapolri pertama Indonesia 1968-1971), patung polisi, dan polisi tidur," jelas Gus Dur panjang lebar sambil tertawa. (tribunnetwork/dit/mam/igm/dod)