Novel Baswedan Sebut Serangan Terhadap Dirinya Sebagai Upaya Menakut-nakuti
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan menilai serangan terhadap dirinya bertujuan untuk menakut-nakuti.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
Novel Baswedan menyebut tuntutan satu tahun penjara dari jaksa penuntut umum (JPU) kapada Ronny Bugis dan Rahmat Kadir sebagai bentuk ejekan.
"Mengejutkan lagi adalah tuntutan yang disampaikan terhadap kedua terdakwa adalah 1 tahun. Ini suatu hal yang kemudian saya melihat mengejek," ujar Novel.
Novel Baswedan menilai tuntutan tersebut mencederai rasa keadilan di negeri ini.
Baca: Kuasa Hukum Heran Pimpinan KPK Seolah Tidak Peduli Nasib Novel Baswedan
"Ini bukan hanya menyepelekan terkait dengan perkara ini tapi saya melihat ini sudah seperti mencederai rasa keadilan," kata Novel Baswedan.
Tim jaksa penuntut umum (JPU), terdiri dari Ahmad Patoni, Satria Irawan, dan Fedrik Adhar, menuntu Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis dengan hukuman satu tahun penjara.
Dua oknum anggota Polri tersebut dituduh menjadi pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan pada 11 April 2017 lalu.
Awal pengusutan kasus berjalan, Novel masih berpikir proses pengusutan dilakukan dengan baik.
Namun, sekitar satu bulan setelah kejadian, Novel mulai menduga ada sesuatu yang tidak beres.
Di antaranya intimidasi terhadap saksi-saksi kunci yang melihat dan memfoto pelaku yang beberapa hari mengamati kediamannya.
Baca: Novel Baswedan Masih Ragu Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette adalah Pelaku Penyerangan
Bahkan ada saksi-saksi yang sempat beinteraksi dengan jarak cukup dekat.
"Lebih satu bulan setelah kejadian, saya mulai mendapatkan informasi dari saksi-saksi yang mereka adalah tetangga-tetangga saya yang dalam pemeriksaan dalam proses penyidikan justru saksi-saksi kunci merasa terintimidasi," jelasnya.
"Proses berjalan hingga kurang lebih 3 bulan atau 4 bulan setelah kejadian, kurang lebih bulan Agustus, saya kemudian mulai meyakini masalah benar-benar akan terjadi sehingga saya bersama dengan kawan-kawan masyarakat sipil dan kuasa hukum mulai menyuarakan mengenai pentingnya dibentuk tim pencari fakta atau tim gabungan pencari fakta independen di bawah presiden," ujarnya.
Setelah sekian lama, kata dia, ternyata bukti-bukti penting juga hilang, di antaranya adanya CCTV yang harusnya bisa dijadikan bukti untuk untuk mendapatkan dokumentasi wajah pelaku.
Tapi itu tidak diambil.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.