Pimpinan DPR Temui Perwakilan Massa yang Menolak RUU HIP
Perwakilan massa yang tergabung dalam Persaudaraan Alumni (PA) 212, GNPF-Ulama, dan sejumlah ormas menolak RUU HIP diizinkan masuk ke Gedung DPR.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perwakilan massa yang tergabung dalam Persaudaraan Alumni (PA) 212, GNPF-Ulama, dan sejumlah ormas menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) diizinkan masuk ke Gedung DPR.
Pantauan Tribunnews.com, Rabu (24/6/2020) di lokasi, mereka yang mewakili massa adalah Ketua GNPF-Ulama Yusuf Martak, Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif, dan Ketua Umum FPI Ahmad Sobri Lubis serta sembilan perwakilan ormas lainnya.
Awalnya, mereka diterima fraksi PKS yang dipimpin Jazuli Juwaini di Ruang KK I Gedung Nusantara, karena pimpinan DPR masih ada agenda lain.
Baca: Ada Aksi Tolak RUU HIP Depan Gedung DPR, Lalu Lintas Kendaraan Dialihkan ke Jalur Busway
"Kami dari fraksi PKS, dikarenakan pimpinan masih belum bisa hadir di tempat, kami berinisiatif untuk menerima bapak dan ibu sebelum nantinya bertemu dengan pimpinan DPR," kata Ketua fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini.
"Mungkin pernyataan sikap nanti bagus disampaikannya kepada pimpinan DPR saja supaya lebih pas dan lebih berwibawa," imbuhnya.
Namun, mereka tetap menginginkan untuk bertemu dengan pimpinan DPR untuk menyampaikan penolakan terhadap RUU HIP.
Baca: PA 212 dan FPI Gelar Aksi di Gedung DPR Siang Ini Protes RUU HIP
Akhirnya, setelah menunggu sekira 20 menit, perwakilan massa tersebut diterima pimpinan DPR di Gedung Nusantara III, tempat berkantor para pimpinan DPR.
Mereka diterima Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Azis Syamsuddin, dan Rachmat Gobel.
Namun, pertemuan itu digelar secara tertutup.
Hingga berita ini diturunkan, pertemuan antara pimpinan DPR dan perwakilan massa masih berlangsung.
Kata Pakar Hukum Tata Negara
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengkritik DPR yang mengusulkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Margarito Kamis menilai adanya RUU HIP adalah cara untuk mereduksi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Jangan-jangan ini cara mereduksi Pancasila, sekali lagi ini kan diletakkan dengan undang-undang yang menjadi objek mulia," kata Margarito Kamis dalam webinar bertema 'RUU HIP, Dalam Perspektif UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945', Rabu (17/6/2020).
Margarito Kamis beralasan RUU HIP ini membuka ruang hidupnya ideologi lain karena tidak dimasukannya TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Baca: Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan Sejak 29 Mei 2020 Minta RUU HIP Dibatalkan
Menurutnya, TAP MPRS XXV/1966 merupakan hal fundamental sebagai pijakan dari RUU HIP ini.
"Jadi jangan-jangan RUU HIP ini adalah cara menyediakan pintu masuk kecil untuk mereduksi Pancasila," ujarnya.
Namun, ia juga menyoroti dominasi perbincangan TAP pelarangan PKI dan ajaran Komunisme itu.
Menurutnya, hal itu menenggelamkan semua kalangan ke dalam, seolah-olah TAP itu adalah satu-satunya TAP, yang relevan untuk diperbicangkan. Ketetapan
Padahal, kata Margarito, ada ketetapan lain yang berhubungan dengan RUU HIP, namun banyak dilupakan orang.
Baca: Mahfud MD Beberkan 2 Masalah Utama pada RUU HIP
Yaitu TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 Tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Ketetapan ini ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1966. Tanggal yang sama dengan ketetapan MPR Nomor XXV itu.
Hasil kerja Panitia, menurut pasal 3 TAP ini harus menyampaikan laporannya ke Badan Pekerja MPRS untuk mendapatkan persetujuan, sambil menunggu pengesahan oleh MPRS atau MPR hasil pemilihan umum yang akan datang
Namun, Margarito tidak mendapat informasi apakah ada laporan kepada MPR yang bersidang pada tahun 1973.
Baca: Polemik RUU HIP, SBY: Saya Simpan Pendapat Saya agar Politik Tak Semakin Panas
"Apakah benar-benar dilakukan penelitian, dilaporkan ke BP MPRS, juga tidak jelas. Tidak dapat berspekulasi, tetapi kenyataan terferifikasi menunjukan pada Sidang Umum MPR tahun 1973, juga tak dikeluarkan ketetapan tentang pengesahan laporan itu," ucapnya.
Atas kenyataan itu, Margarito berpendapat ada dua masalah.
Pertama, apa dan bagaimana ajaran Bung Karno. Mana yang dinyatakan dikoreksi atau yang tidak dikoreksi.
Sebagai konsekuensi tidak ada laporan itu, maka tidak seorang pun yang dapat secara otoritatif menyatakan ajaran Bung Karno bagian ini atau itu sebagai ajaran, setidak-tidaknya tidak bisa dikembangkan.
Kedua, kata Maragarito, tidak adanya ajaran Bung Karno Pimpinan Besar Revolusi yang dikoreksi secara hukum, dan dinyatakan secara hukum.
Misalnya, tidak bisa dikembangkan, maka konsekuensi hukumnya tidak ada ajaran Bung Karno yang terlarang untuk dikembangkan. Konsekuensi ini menghasilkan kabut hitam tebal untuk dua hal.
"Bagaimana memastikan secara spesifik ajaran bung Karno? Bagaimana memastikan secara spesifik cara mengembangkannya? Ini adalah dua kabut tebalnya. Pada titik ini, beralasan untuk menempatkan RUU HIP sebagai cara mengembangkan ajaran Bung Karno. Cara yang kehebatannya terlegitimasi secara rapuh dengan hukum," katanya.