Sedang Berperkara di PTUN, Perludem Minta Presiden Tidak Segera PAW Eks Komisioner KPU Evi Novida
Untuk itu, kata dia, demi kepastian hukum dan rasa keadilan penggugat sebaiknya proses PAW ditunda.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hendra Gunawan
Presiden tidak punya kewenangan untuk memeriksa secara materil putusan DKPP Nomor 317, melainkan hanya melaksanakan rekomendasi semata. Oleh karena itu menurut Hamdan, majelis hakim punya kuasa dan wewenang untuk memeriksa materi putusan DKPP Nomor 317 dengan tetap menjadikan SK Presiden sebagai objek formilnya.
“Karena seluruh proses persidangan di DKPP tidak sah secara hukum, maka seharusnya posisi Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota KPU RI harus dipulihkan. Presiden tidak memliki kewenangan untuk melihat secara materil putusan DKPP. Dia hanya melihat rekomendasi dimuka (putusan). Jadi Presiden hanya melakukan tindakan administratif. Jadi dalam persidangan PTUN, putusan DKPP bisa dijadikan objek materil untuk diperiksa oleh pengadilan,” terangnya.
Dalam persidangan tersebut, hadir juga Ketua KPU RI Arief Budiman, Anggota KPU RI Ilham Saputra dan Viryan untuk menyaksikan jalannya persidangan mendengarkan keterangan saksi ahli penggugat.
Sebelumnya, Evi Novida Ginting, mengajukan gugatan pembatalan pemecatan dirinya sebagai Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2017-2022 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Evi mengatakan upaya pengajuan gugatan itu dilayangkan pada Jumat 17 April 2020. Dia bersama tujuh orang kuasa hukum yang menamakan diri "Tim Advokasi Penegak Kehormatan Penyelenggara Pemilu, mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta.
"Saya selaku penggugat dan tergugat Presiden Republik Indonesia. Gugatan saya tercatat Nomor 82/G/2020/PTUN.JKT," kata Evi, dalam keterangannya, Sabtu (18/4/2020).
Dia meminta pertama, pihak PTUN menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret 2020 yang memberhentikan secara tidak hormat sebagai anggota KPU masa jabatan 2017-2022.
Kedua, meminta pihak PTUN mewajibkan Presiden untuk mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret 2020 yang memberhentikan secara tidak hormat sebagai anggota KPU masa jabatan 2017-2022.
Ketiga, mewajibkan Presiden untuk merahabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan dia sebagai anggota KPU masa jabatan 2017-2022 seperti semula sebelum diberhentikan.
"Saya meminta PTUN membatalkan Keputusan Presiden, karena keputusan tersebut didasarkan pada Putusan DKPP 317/2019 mengandung kekurangan yuridis essential yang sempurna dan bertabur cacat yuridis yang tidak bisa ditoleransi dari segi apapun," ujarnya.
Meskipun, kata dia, yang mengandung kekurangan yuridis essential putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020., sayangnya menurut Sistem Hukum Indonesia yang menanggung akibatnya adalah Keputusan Presiden 34/P Tahun 2020, yang harus dijadikan objek gugatan dan dimintakan pembatalan kepada Pengadilan.
Menurut dia, kekurangan yuridis yang essential dari Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020, karena mengkhianati tujuan dari putusan DKPP, yaitu untuk menyelesaikan perselisihan etika antara Pengadu dan Teradu sebagaimana diatur Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Serta, karena dia menilai DKPP menghkianati prinsip keramat penyelesaian perselisihan, yaitu asas "audi et alteram pertern" atau kewajiban menggelar sidang pemeriksaan perselisihan demi mendengar semua pihak yang berselisih dan berkepentingan.
"Semoga PTUN memberikan putusan yang adil dan kedepannya dapat dijadikan sumber hukum guna menentukan batas kewenangan DKPP terhadap kemandirian KPU," tambahnya.