Tanggal 20 Juli Deadline Pemerintah Keluarkan Surpres Jawab Soal RUU HIP
Dia mengatakan jika pemerintah tidak menjawab Surpres, dengan demikian berarti pemerintah menolak membahas lebih lanjut RUU HIP
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, ,Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak DPR segera menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP.
Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini mengungkapkan tanggal 20 Juli 2020 merupakan batas waktu pemerintah menjawab RUU HIP melalui Surat Presiden (Surpres) kepada DPR.
Baca: Sekjen PBNU: RUU HIP Sebabkan Perdebatan yang Tidak Produktif
Setelah DPR menyampaikan RUU HIP kepada pemerintah, sesuai undang-undang pemerintah diberikan tenggat waktu selama 60 hari dimana pemerintah harus menjawab melalui Surpres.
“Itu (deadline Surpres) akan jatuh pada 20 juli yang akan datang,” ujar Helmy dalam webinar daring ‘Peran Umat Islam dalam mengawal RUU HIP’, Senin (6/7/2020).
Dia mengatakan jika pemerintah tidak menjawab Surpres, dengan demikian berarti pemerintah menolak membahas lebih lanjut RUU HIP.
Adapun proses selanjutnya akan dikembalikan kepada DPR.
“Kemudian prosesnya akan kembali ke DPR apa itu akan dihapus dari prolegnas ataukah delay (ditunda),” ungkapnya.
Adapun jika pemerintah memutuskan untuk melanjutkan membahas RUU tersebut dengan menunjuk salah satu menterinya untuk membahas RUU ini, menurut Helmy hal itu merupakan keputusan yang tidak tepat.
“Tentu dalam situasi ini sangat tidak tepat karena semua sedang prihatin menghadapi covid-19,” ujarnya
“Saya khawatir jika itu terjadi seperti kita membuka kotak Pandora, yang bisa kita buka namun tidak bisa kita tutup. Dalam situasi ini sangat beresiko,” lanjutnya.
Namun nampaknya saat ini tidak ada masyarakat sipil yang menyatakan dukungan pada RUU HIP dan menolak RUU yang dikatakannya lebih banyak mudharatnya.
PBNU sendiri secara tegas juga mendesak DPR RI untuk menghentikan legislasi RUU HIP.
Menurutnya, RUU HIP menyebabkan perdebatan yang tidak produktif dan akan menimbulkan pertentangan. Karena ada kekhawatiran dari rakyat bahwa BPIP akan diperkuat.
Obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif akan menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan masyarakat.
Penguatan eksesif kelembagaan BPIP dapat melahirkan kembali BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman Orde Baru yang praktiknya menjadi alat sensor ideologi masyarakat.
Baca: PA 212 Ancam Gelar Aksi Besar-besaran Jika RUU HIP Tak Dicabut, Tuntut Inisiator Diproses Hukum
Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu, yang pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturan norma dalam masyarakat.
“Komitmen NU terhadap Pancasila, kami menegaskan bahwa Pancasila merupakan titik temu yang disepakati sebagai dasar negara dan hasil dari kesatuan proses yang dimulai sejak pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945,” ujar Sekjen PBNU.