RUU Perjanjian MLA RI-Swiss yang Disahkan DPR Jadi Tumpuan Memburu Harta Koruptor di Swiss
Rapat Paripurna DPR, Selasa (14/7/2020) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Vendy Yhulia Susanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance (MLA) in Criminal Matters between the Republic of Indonesia and The Swiss Confederation antara Republik Indonesia dengan Konfederasi Swiss menjadi UU.
Pengesahan itu diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (14/7/2020), yang dipimpin Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Ketua Pansus DPR yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengatakan, Indonesia berkewajiban menjamin penegakan hukum dan melakukan kerjasama dengan negara lain.
Pemerintah RI melalui Menkumham telah menandatangani perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistence) antara Indonesia dengan Konfederasi Swiss pada Februari 2019 lalu.
"Bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana terdiri dari 39 pasal," kata Sahroni saat rapat paripurna.
Baca: Pemerintah Segera Lacak Aset Hasil Kejahatan di Swiss Seiring Disahkannya UU MLA Indonesia-Swiss
Sahroni menyebutkan, hal-hal yang diatur dalam MLA itu antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, membantu menghadirkan saksi, meminta dokumen, rekaman dan bukti.
Baca: UU MLA Indonesia-Swiss Diyakini Dapat Perkuat Pemberantasan Korupsi
Selain itu juga mengatur terkait penanganan benda dan aset untuk tujuan penyitaan atau pengambilan aset, penyediaan informasi yang berkaitan dengan tindak pidana, mencari keberadaan seseorang dan asetnya, mencari lokasi dan data diri seseorang serta asetnya.
Baca: Pemerintah Indonesia Mulai Lacak Aset Hasil Kejahatan yang Disimpan di Swiss
Termasuk di dalamnya, memeriksa situs internet yang berkaitan dengan orang tersebut.
"Serta menyediakan bantuan lain sesuai perjanjian yang tidak berlawanan dengan hukum di negera yang diminta bantuan," ucap dia.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan, kemajuan teknologi informasi membuat perpindahan dana dan/atau aset dari suatu negara ke negara lainnya.
Selain berdampak positif, hal ini juga berdampak negatif dengan timbulnya tindak pidana yang melewati batas yurisdiksi suatu negara atau tindak pidana transnasional.
Yasonna menyebutkan, penyelesaian kasus tindak pidana transnasional bukan hal mudah. Hal ini berbeda dengan penanganan kasus tindak pidana dalam teritorial negara.
Ia mengatakan, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional memerlukan kerjasama bilateral dan multirateral.