Pemerintah: Anggota Dewan Ikut Pilkada Harus Mengundurkan Diri
pengaturan pengunduran diri jabatan legislatif untuk maju dalam pemilihan kepala daerah bukan masalah konstitusionalitas melainkan pelaksanaan dari
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Staf Ahli Menteri Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa Kementerian Dalam Negeri Didik Suprayitno mengatakan calon kepala daerah harus mengundurkan diri dari posisi sebagai anggota legislatif.
Menurut dia, pengaturan pengunduran diri jabatan legislatif untuk maju dalam pemilihan kepala daerah bukan masalah konstitusionalitas melainkan pelaksanaan dari norma hukum.
Pernyataan itu disampaikan pada saat memberikan keterangan mewakili pemerintah di sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Sidang perkara Nomor 22/PUU-XVIII/2020 digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (21/7/2020).
“Atas dasar hal tersebut, pemohon pada prinsipnya telah mengakui bahwa ketentuan pasal a quo merupakan open legal policy,” ujar Didik, seperti dilansir laman MK, Rabu (22/7/2020).
Baca: Tak Hanya Gibran & Bobby Nasution, Anak Maruf Amin dan Keponakan Prabowo Juga Ramaikan Pilkada 2020
Sidang mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR ini dipimpin Ketua MK Anwar Usman. Namun DPR berhalangan hadir karena berbarengan dengan agenda rapat yang berlangsung di DPR.
Dia menjelaskan, penyelenggaraan pemilu termasuk pilkada merupakan wujud pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung, dimana setiap warga negara Indonesia berhak untuk mengikuti atau menjadi peserta pemilihan kepala daerah selama memenuhi syarat sebagaimana diatur ketentuan pasal 7 ayat (1) UU Pilkada.
Menurut dia, jika mengacu pada ketentuan tersebut, maka anggota DPR, DPD dan DPRD dapat menjadi peserta pilkada.
Namun, apabila memperhatikan filosofi wakil rakyat, maka dapat diartikan bahwa seorang yang ditunjuk dan dipercaya rakyat sebagai anggota legislatif mewakili dari beberapa warga negara yang memilihnya bertanggung jawab atas amanah tersebut hingga masa akhir jabatan. Karena apabila anggota DPR, DPD dan DPRD mengundurkan diri dari jabatannya maka konstituen yang memilihnya kehilangan wakil yang dipercaya untuk menampung dan menyampaikan aspirasi mereka.
Pemerintah berpendapat, jabatan merupakan amanah yang harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan hingga jabatan tersebut selesai baik jabatan legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Semua bertujuan untuk rakyat dan menciptaan kesejahteraan rakyat. Sehingga, apapun jabatan yang diemban dapat dijalankan sampai berakhirnya jabatan tersebut. Tetapi, jika memang tidak dapat menyelesaikan tugas jabatan hingga selesai, pengunduran diri merupakan pilihan terbaik untuk rakyat.
“Dalam UU Pilkada telah jelas menyatakan bahwa calon pemimpin daerah harus memiliki persyaratan yang menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD sejak ditetapkan sebagai calon peserta pemilihan,” kata Didik.
Dia menambahkan penyelenggaraan pilkada merupakan mekanisme demokratis agar rakyat dapat menentukan kepala daerah yang dapat memperjuangan kepentingan-kepentingannya.
Oleh karena itu, penyelenggaraan pilkada merupakan sarana pemberian mandat dan legitimasi dari rakyat kepada kepala daerah dengan harapan kepala daerah yang terpilih dapat memperjuangkan kepentingan rakyat.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut diperlukan upaya dari seluruh komponen bangsa untuk menjaga kualitas pilkada agar dapat menjadi pilkada yang substantif dan berintegritas tinggi.
Untuk diketahui, para pemohon menguji syarat pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan Kepala Daerah.
Pemohon Perkara Nomor 22/PUU-XVIII/2020 ini adalah Anwar Hafid yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) selaku Pemohon I serta Arkadius Dt. Intan Baso yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat selaku Pemohon II. Keduanya menguji Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada.
Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada berbunyi, "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Waliota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: s. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan."
Para pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 7 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3) dan Pasal 28H Ayat (2).
Pemohon menilai secara konseptual anggota DPR, DPD, DPRD dan jabatan kepala daerah merupakan satu kesatuan rumpun jabatan yaitu "jabatan politik" sehingga anggota legislatif yang berkeinginan atau mendapatkan amanah dari rakyat untuk mencalonkan diri dalam jabatan kepala daerah seharusnya tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya.
Meskipun tidak mengundurkan diri, anggota legislatif tidak mutatis mutandis mempunyai posisi lebih menguntungkan dari calon lainnya dan dapat memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pemenangan. Hal ini karena pada prinsipnya kelembagaan kekuasaan legislatif tidak memiliki jaringan birokrasi yang dapat ditarik menjadi bagian dari strategi pemenangan.
Sehingga, untuk memastikan pencalonan anggota legislatif dalam jabatan kepala daerah tidak menghambat kinerja kelembagaan legislatif.
Sehingga, syarat “mengundurkan diri” dapat diterapkan atau diberlakukan hanya pada jabatan “alat kelengkapan dewan” tanpa perlu melepaskan jabatan anggota legislatif. Oleh karena itu, dalam petitumnya, para pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf f UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.