Mahkamah Konstitusi Berwenang Tangani Sengketa Pilkada, Ini Aturannya
Mahkamah Konstitusi berdasarkan pengalaman menangani sengketa pilkada, selalu membuat regulasi yang menjadi dasar untuk penanganan pilkada tersebut
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Aswanto mengatakan, Mahkamah Konstitusi masih dapat menangani Sengketa Pilkada.
Mahkamah Konstitusi dapat menangani Sengketa Pilkada hanya sampai peradilan khusus Pemilu terbentuk.
Baca: Diajak PKS untuk Lawan Gibran dalam Pilkada Solo, Achmad Purnomo: Sudah Tidak Mungkin Lagi
“Mahkamah Konstitusi mengharapkan untuk peradilan yang mempunyai kewenangan sengketa pilkada itu adalah peradilan khusus," kata dia, dalam keterangannya, di laman Mahkamah Konstitusi, Rabu (29/7/2020).
Dia menjelaskan, Mahkamah Konstitusi berdasarkan pengalaman menangani sengketa pilkada, selalu membuat regulasi yang menjadi dasar untuk penanganan pilkada tersebut.
“Misalnya baru-baru ini kami melakukan pembaharuan terhadap peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yakni menjadi PMK Nomor 5 Tahun 2020 tentang tahapan, kegiatan dan jadwal penanganan perkara perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota,” kata dia.
Menurut dia, meskipun di pilkada telah ada badan penanganan pada setiap tahapan, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang pada tahap akhir, yakni ketika terdapat peserta pemilihan pilkada yang merasa apa yang diputuskan oleh penyelenggara tidak tepat.
Kemudian, lanjut Aswanto, Mahkamah Konstitusi akan tetap patuh kepada regulasi yang mengatur siapa saja yang boleh mengajukan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi.
Ia mengatakan, UU telah menentukan bahwa tidak semua pasangan calon dapat atau berhak untuk mengajukan sengketa hasilnya ke Mahkamah Konstitusi.
Dia menjelaskan, Pasal 158 UU Pilkada mengatakan bahwa ada batas persentase tertentu selisih antara yang ditetapkan sebagai pemenang dengan yang kalah yang boleh mengajukan.
Sebagai contoh daerah yang penduduknya sampai dengan 250 ribu itu selisih maksimal hanya dua persen.
Apabila lebih dari dua persen, paslon itu tidak berwenang atau tidak mempunyai legal standing mengajukan sengketa tersebut.
“Akan tetapi, mengingat perkembangan-perkembangan selama Mahkamah Konstitusi menangani sengketa, di internal hakim terjadi diskusi yang sangat intens bahwa solusi itu bahwa yang dipersoalkan para pihak di dalam sengketa pilkada itu selisih," katanya.
"Sehingga, kalau dari awal kita mengaminkan bahwa apa yang ditentukan oleh KPU yaitu selisih lebih dari dua persen itu tidak fair,” ujarnya.