Ini Alasan MA Tolak Permohonan PK yang Diajukan KPK Terkait Perkara Syafruddin Arsyad Temenggung
MA menjelaskan alasan menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan KPK dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menjelaskan alasan menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung.
MA menilai permohonan PK KPK tak memenuhi syarat formal.
"Setelah diteliti oleh hakim penelaah dan berdasarkan memorandum Kasubdit perkara PK dan grasi pidana khusus pada MA ternyata permohonan PK tersebut tidak memenuhi persyaratan formil," ujar Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, saat dikonfirmasi, Senin (3/8/2020).
Baca: Penasihat Hukum Arsyad Temenggung Sebut Jaksa KPK Tak Punya Legal Standing Ajukan Peninjauan Kembali
Andi mengatakan pengajuan PK itu tak sesuai dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Pasal itu menyebutkan bahwa PK dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya.
Selanjutnya putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 yang menegaskan ketentuan PK merupakan hak terpidana dan ahli warisnya, bukan jaksa.
Baca: Jaksa KPK Hadirkan Ahli Pidana dalam Sidang Peninjauan Kembali Atas Putusan Kasasi Arsyad Temenggung
Andi mengatakan berdasarkan pertimbangan itu, berkas perkara permohonan PK terhadap Syafruddin dikirim kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Surat pengantar pengiriman berkas permohonan PK tersebut bertanggal 16 Juli 2020," kata dia.
KPK mengajukan PK atas putusan kasasi yang melepaskan Syafruddin dalam perkara BLBI.
Majelis hakim kasasi menyatakan terbukti menerbitkan Surat Keterangan Lunas BLBI untuk pemilik saham Bank Dagang Negara Informasi Sjamsul Nursalim yang membuat negara rugi Rp4,58 triliun.
Namun, tiga hakim memberikan pendapat berbeda.
Ketua Majelis Hakim, Salman Luthan, berpendapat perbuatan Syafruddin adalah pidana.
Hakim Anggota I, Syamsul Rakan Chaniago, menyebut jika perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan perdata.
Sementara Hakim Anggota II Mohamad Asikin berpandangan perbuatan Syafruddin perbuatan administrasi.
Karena perbedaan pendapat itu, Syafruddin lantas dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Hakim juga membatalkan putusan pengadilan tingkat banding yang memvonis Syafruddin 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Vonis ini diwarnai pelanggaran etik yang dilakukan anggota majelis hakim, Syamsul Rakan Chaniago karena bertemu dengan pengacara Syafruddin sebelum vonis.
Saat merumuskan putusan, Hakim Agung Salman mengaku dirayu dua anggota hakim lainnya untuk mengubah putusannya.