Kisah Ngatimin Pura-pura Jadi Anak tidak Normal yang Memata-matai Belanda: Saya Marah Bapak Ditembak
Pemandangan gelimpangan mayat dan kematian sang ayah membuat Ngatimin muda membulatkan tekat untuk ikut berjuang.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Adi Surya Samodra
TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Ingatan saat sang ayah ditembak mati tentara Belanda kala tengah menggandeng dirinya dan sang adik masih terekam jelas dalam ingatan Ngatimin.
Mereka saat itu tengah berlari di jalanan kampung halamannya, Desa Paulan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar untuk mencari tempat persembunyian.
Pasalnya, ayahnya tengah diburu tentara dan antek Belanda karena dianggap pejuang.
Ayah Ngatimin langsung tersungkur dan meninggalkannya dan sang adik sendirian di tengah jalanan kampung.
Begitulah memoar kematian sang ayah yang masih terpatri dalam ingatan Ngatimin Citro Wiyono (87), seorang pejuang.
Nadanya begitu emosional dan meninggi tatkala menceritakan kematian sang ayah saat Agresi Militer II tahun 1948.
Ayah Ngatimin muda dicap penjuang lantaran sering membantu membangun parit perangkap tank di jalan-jalan kampung.
Baca: Kisah Pejuang Asal Purwakarta, Kena Tembak Tentara Belanda di Punggung, Tangan, Kaki dan Kepala
Terlebih lagi, kediaman Ngatimin tak jauh dari pangkalan udara tentara belanda 'Panasan' atau yang kini dikenal dengan Landasan Udara (Lanud) Adi Soemarmo.
"Pada waktu itu pukul 24.00 WIB, ayahku ikut gotong royong membnuat jebakan tank di jalan kampung. Dibikin lubang selebar dan sepanjang tank dengan kedalaman 1,5 meter," kata Ngatimin, Minggu (16/8/2020).
Antek-antek Belanda, lanjut Ngatimin, ikut serta dalam gotong royong itu sembari mendata orang yang terlibat.
Itupun langsung dilaporkan kepada tentara Belanda.
"Antek-antek Belanda menyamar pakai ikat merah putih ikut-ikutan di dalamnya," tuturnya.
Tentara Belanda mulai memburu para pejuang yang ada di kampung halaman Ngatimin muda dengan bekal data antek mereka.