Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Ngatimin Pura-pura Jadi Anak tidak Normal yang Memata-matai Belanda: Saya Marah Bapak Ditembak

Pemandangan gelimpangan mayat dan kematian sang ayah membuat Ngatimin muda membulatkan tekat untuk ikut berjuang.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Kisah Ngatimin Pura-pura Jadi Anak tidak Normal yang Memata-matai Belanda: Saya Marah Bapak Ditembak
TribunSolo.com/Adi Surya
Mata-mata tentara Indonesia, Ngatimin Citro Wiyono (87) saat bercerita tentang kisahnya di kediamannya, Kaplingan RT. 

Ngatimin muda pun harus terus memberikan informasi kepada komandannya soal keberadaan tentara Belanda.

Itu guna mendukung strategi yang disiapkan sang komandan.

Seiring berjalannya waktu, peran Ngatimin muda semakin berkembang.

Tak hanya menjadi mata-mata, ia juga harus memastikan senjata-senjata tentara Indonesia aman disembunyikan di wilayah musuh.

Satu di antaranya, Ngatimin muda harus memastikan senjata tentara Indonesia aman disembunyikan di sisi timur lapangan udara Panasan.

Itupun membuatnya harus berjuang supaya tak tertangkap.

Apabila tertangkap, Ngatimin muda harus menghadapi nasib kematian.

Berita Rekomendasi

"Senapan, granat, peluru rentengan, dan bazoka saya letakkan di kebun antara lapangan udara dan perkampungan lalu saya tutupi sampah," kata dia.

Ngatimin mengaku dirinya bahkan sempat bertahan hidup dengan memanfatkan tanaman di sekitarnya selama 20 hari.

Lantaran, ia harus bersembunyi dari kejaran tentara Belanda.

Terkadang Ngatimin muda juga harus menahan rasa laparnya.

"Tiap hari begitu saya berjuang tanpa makan, caranya menghitung hari itu batang pohon kecil saya tekuk tapi tidak dampai patah," aku dia.

"Kalaupun makan, makan dedaunan yang ada di sekitar meski rasanya tidak enak," tambahnya.

Perjuangan Ngatimin muda membantu melawan tentara Belanda usai saat tahun 1951.

Saat itu, ia pun lantas memilih masuk sekolah rakyat yang ada di daerah Colomadu.

Selain itu, Ngatimin mengaku tidak mendapat kabar apapun soal komandan yang pernah memimpinnya pasca perlawanan dengan tentara Belanda sudah usai.

Nama komandannya pun sampai saat ini ia tidak tahu lantaran saat itu dirinya tak pandai membaca.

"Saya tidak pernah tanya, meski ada tulisan di bajunya, saya belum sekolah, belum bisa baca," tandasnya.

Kini di usia tua yang semestinya dipakai untuk beristirahat, Ngatimin menyambung hidup dengan berjualan mainan.

Dengan laba tak seberapa, ia berusaha bertahan hidup dengan profesi yang kini ditekuninya itu.

Artikel ini telah tayang di Tribunsolo.com dengan judul Kisah Ngatimin, Dulu Mata-mata Indonesia sampai Rela Makan Daun, di Usia Tua Jual Mainan

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas