Dewas KPK Sebaiknya Usut Proses Pengembalian Penyidik Rossa ke Instansi Asal
Dewas yang harus memanggil Komjen Firli Bahuri sebab, proses pengembalian Rossa tersebut diduga tidak berlandaskan penilaian objektif.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai lebih baik Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) mengusut proses pengembalian penyidik Rossa ke instansi asalnya ketimbang memeriksa Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo Harahap.
ICW berpandangan, apa yang dilakukan oleh Yudi sebagai Ketua WP KPK sudah tepat terkait dengan advokasi atau mempersoalkan Penyidik Rossa Purbo Bekti yang dikembalikan ‘paksa’ oleh Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri.
Justru dalam hal ini, kata Kurnia, Dewas yang harus memanggil Komjen Firli Bahuri sebab, proses pengembalian Rossa tersebut diduga tidak berlandaskan penilaian objektif.
Terlebih, kata Kurnia, Rossa saat itu belum memasuki masa akhir tugas di KPK, tidak pernah melanggar etik atau hukum, dan sedang menangani perkara besar yakni dugaan korupsi pergantian antar waktu anggota DPR RI yang melibatkan Harun Masiku dan Wahyu Setiawan.
"Maka dari itu, akan lebih baik jika Dewan Pengawas mengusut proses pengembalian penyidik Rossa ke instansi asal daripada harus mempersoalkan pembelaan Ketua WP terhadap rekan sejawatnya," kata Kurnia saat dihubungi Tribunnews.com pada Kamis (20/8/2020).
Baca: Sidang Etik Terkait Penggunaan Helikopter Mewah oleh Ketua KPK Dijadwalkan Pekan Depan
Lebih jauh, ICW merekomendasikan agar Dewas memberikan sanksi berupa pelanggaran berat kepada Komjen Firli Bahuri dengan meminta Firli mengundurkan diri sebagai Ketua KPK.
Sebab, kata Kurnia, Firli telah menunjukkan gaya hidup hedonisme yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar integritas kelembagaan.
Selain itu , kata Kurnia, citra KPK sudah buruk di mata publik akibat tindakan yang dinilai kontroversi yang kerap Firli lakukan.
"Jadi, tidak ada lagi urgensi untuk mempertahankan jabatan yang bersangkutan sebagai Ketua KPK," kata Kurnia.
Penting untuk diketahui publik, kata dia, dugaan pelanggaran etik pegawai atau pimpinan KPK ditangani di kedeputian Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.
Menurut catatannya pada saat itu, Deputi PIPM pernah menjatuhkan sanksi etik kepada dua orang Pimpinan KPK yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang.
Menurutnya jika dalam hal ini Dewas tidak berani untuk menjatuhkan sanksi etik, maka lebih baik Dewas dibubarkan dan dikembalikan pada kedeputian PIPM.
"Sejak awal kami beranggapan bahwa kelembagaan Dewan Pengawas tidak dibutuhkan di KPK. Maka dari itu, saat ini ICW serta koalisi masyarakat sipil sedang mengajukan Uji Formil di Mahkamah Konstitusi dengan mempersoalkan UU 19/2019," kata Kurnia.
Sebelumnya diberitakan Yudi memastikan bakalan menghadiri sidan kode etik yang digelar oleh Dewan Pengawas KPK.