Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

YLKI: Indeks Kepercayaan Konsumen Indonesia Terhadap Minyak Sawit Masih Rendah

Masyarakat perlu didorong untuk menggunakan produk berkelanjutan dan perilaku konsumsi yang juga berkelanjutan

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in YLKI: Indeks Kepercayaan Konsumen Indonesia Terhadap Minyak Sawit Masih Rendah
Istimewa
Ilustrasi 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Choirul Arifin 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai Indeks kepercayaan konsumen di Indonesia terhadap produk minyak kelapa sawit belum cukup baik, misalnya jika dibandingkan dengan indeks serupa di Eropa.

Untuk harga jual minyak goreng misalnya, psikologi konsumen kita kalau ada tanbahan harga di luar harga yang ditetapkan, mereka akan menanyakan, ini biaya apa?," ujar Tulus Abadi.

Tulus memaparkan hal ini pada acara diskusi online dengan media yang diselenggarakan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) membedah ketentuan RSPO mengenai konsep Shared Responsibility (SR), sebuah konsep yang menyeimbangkan antara produksi dan konsumsi minyak sawit berkelanjutan di Indonesia, Rabu (19/8/2020).

Hadir sebagai panelis di acara ini perwakilan dari RSPO, Golden Agri Resources (GAR), World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, dan YLKI.

Tulus Abadi menjelaskan, karena indeks kepercayaan konsumen yang masih rendah, masyarakat perlu didorong untuk menggunakan produk berkelanjutan dan perilaku konsumsi yang juga berkelanjutan.

"Kita perlu dorong bahwa saat kita mengkonsumsi barang,harus memahami produk ini dibuat dengan melanggar hak hak buruh tidak, melanggar HAM atau tidak," ujarnya.

Baca: Sebut Pemerintah Simpang Siur Tangani Corona, Tulus Abadi: Kondisi Gini Kok Ngomong Target

Berita Rekomendasi

"Ideologi konsumsi berkelanjutan itu harus kita dorong di konsumen kita. Tapi itu harus equal, jika produknya tidak berkelanjutan, konsumen berhak melakukan boikot. Tapi kesadaran konsumen di Indonesia saat ini lebih banyak sebatas pada aspek sensitivitas harga, kualitas dan daya beli," bebernya.

Direktur RSPO Indonesia Tiur Rumondang menjelaskan, konsep Shared Responsibility atau Tanggung Jawab Bersama bukan merupakan konsep yang baru bagi RSPO.

Konsep ini telah menjadi bagian dari kode etik anggota RSPO selama lebih dari lima tahun.

"Shared responsibility ini harus disebarluaskan ke masyarakat. Semua akan berproses jika semua pihak ikut terlibat berpartisipasi. Semua pihak harus ambil bagian dari proses shared responsibility ini," ungkap Tiur.

Dia menjelaskan, RSPO merupakan organisasi yang beranggotakan perusahaan penjual dan pembeli produk sawit meski RSPO tidak terlibat dalam proses transaksinya. "Setiap anggota berhak memgetahui dan menelusuri asal usul sawit yang mereka beli," sebutnya.

Pasca revisi Prinsip dan Kriteria (P&K) pada tahun 2017, hingga saat ini para pemangku kepentingan mengidentifikasi bahwa konsep Shared Responsibility perlu diidentifikasi dan dikembangkan lebih lanjut.

Baca: Setiap 1 Liter Minyak Sawit Mengandung 20 Persen Vitamin A

“Selama 14 tahun terakhir kita telah melihat pertumbuhan yang impresif dalam produksi minyak sawit berkelanjutan dari anggota kami. Namun permintaannya tidak sebanding dengan suplai dan ada keyakinan bahwa pembeli tidak mematuhi standar yang berlaku bagi produsen karena tidak adanya aturan mengenai hal itu,” jelasnya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas