Soal Akurasi Hasil Tes Covid-19 oleh BIN, DPR: Layak Digunakan untuk Analisis RT-PCR Sesuai Standar
Dede mengungkapkan, laboratorium BIN dalam melakukan proses uji spesimen menggunakan dua jenis mesin real time PCR.
Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Malvyandie
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) PDI Perjuangan (PDIP) di Komisi I DPR RI, Dede Indra Permana Soediro mengapresiasi inisiatif Badan Intelijen Negara (BIN) dalam membantu penanganan Covid-19.
Menurutnya, BIN berkewajiban membantu pemerintah dan siap mendukung seluruh kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Dede menjabarkan pandangannya mengenai peran BIN tersebut. Dia memahami terkait permasalahan akurasi hasil tes Polymerase Chain Reaction (PCR) oleh BIN.
Baca: Bantu Tes Swab bagi Pegawai, LAN Sampaikan Terima Kasih dan Apresiasi BIN
Baca: Penjelasan BIN Soal Swab Test, Koordinasi dengan Otoritas Kesehatan dan Kewenangannya Tangani Corona
Dede mengungkapkan, laboratorium BIN dalam melakukan proses uji spesimen menggunakan dua jenis mesin real time PCR. Pertama, jenis Qiagen dari Jerman. Kedua, Thermo Scientific PCR dari Amerika Serikat (AS).
"Terkait masalah akurasi hasil tes, keduanya (Qiagen dan Thermo Scientific PCR) memiliki sertifikat Laboratorium Biosafety Level 2 (BSL-2) yang telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium. Selain itu proses sertifikasi telah dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Internasional, World Bio Haztec (Singapura), dan melakukan kerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman untuk standar hasil tes. Dengan begitu, layak digunakan untuk analisis Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)," ujar Dede, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (28/9/2020).
Dede yang juga Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu menuturkan, BIN juga menerapkan ambang batas standar hasil tes PCR yang lebih tinggi dibandingkan institusi/lembaga lain.
Tercermin dari nilai Ct qPCR ambang batas bawah 35, tetapi untuk mencegah orang tanpa gejalan (OTG) lolos screening, maka BIN menaikkan menjadi 40. BIN pun melakukan uji validitas melalui triangulasi tiga jenis gen yaitu RNP/IC, N dan ORF1ab.
Dia mengatakan, Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN termasuk jaringan intelijen di WHO, telah menjelaskan fenomena hasil tes swab positif menjadi negatif bukan hal yang baru.
Hal itu dapat disebabkan oleh RNA/Protein yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit, bahkan mendekati hilang pada threshold, sehingga tidak terdeteksi lagi.
"Apalagi subjek tanpa gejala klinis dan dites pada hari yang berbeda. OTG/asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut. Berikutnya, terjadi bias pre-analitik yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh dua orang berbeda, dengan kualitas pelatihan berbeda dan standar operasional prosedur (SOP) berbeda pada laboratorium yang berbeda," ucapnya.
Dengan begitu, menurutnya, sampel swab sel yang berisi Covid-19, tidak terambil atau terkontaminasi. Faktor lainnya, sensitivitas reagen dapat berbeda terutama untuk pasien yang nilai Cq/Ct-nya sudah mendekati 40. Dalam kaitan ini, BIN menggunakan Reagen PerkinElmer (AS), A-Star Fortitude (Singapura), Wuhan Easy Diagnosis (China).
"Reagen ini lebih tinggi standar dan sensitivitasnya terhadap strain Covid-19 dibandingkan merk lain seperti Genolution (Korea Selatan) dan Liferiver (China) yang digunakan beberapa rumah sakit. Dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan uji swab antara lain adalah kondisi peralatan, waktu pengujian, kondisi pasien, dan kualitas test kit," ungkapnya.
Dede mengatakan, BIN menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah Gold Standard dalam pengujian sampel covid-19. Kasus false positive dan false negatif sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti AS, China, dan Swedia.