Tolak RUU Cipta Kerja, Serikat Pekerja: Ekonomi Tidak Dapat Pulih, Jika Pekerja Diberi Upah Murah
Berbagai serikat pekerja yang merupakan afiliasi global unions federations meminta RUU Cipta Kerja tidak disahkan menjadi undang-undang.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berbagai serikat pekerja yang merupakan afiliasi global unions federations meminta RUU Cipta Kerja tidak disahkan menjadi undang-undang.
Serikat pekerja tersebut di antaranya, FSPM dan FSBMM afiliasi dari The International Union of Food, Agricultural, Hotel, Restaurant, Catering, Tobacco and Allied Workers’ Associations (IUF), SERBUK Indonesia afiliasi dari Building and Wood Worker’s International (BWI), PPIP dan beberapa serikat lain yang merupakan afiliasi dari Public Service International (PSI).
Baca: Komnas Perempuan: RUU Cipta Kerja Menurunkan Standar Perlindungan terhadap Buruh Perempuan
Kemudian, FSP2KI yang merupakan afiliasi IndustriALL Global Union (IndustriAll) dan FBTPI afiliasi dari International Transport Workers’ Federation (ITF).
Baca: Politikus Demokrat Sebut Pembahasan RUU Cipta Kerja Ibarat Ibu Hamil yang Dipaksa Melahirkan
Ketua Umum SERBUK Indonesia Subono mengatakan, pekerjaan baru yang dijanjikan oleh RUU Cipta Kerja bukanlah pekerjaan nyata, tetapi pekerjaan berupah murah dan bersifat sementara.
“Kita tidak dapat pulih secara ekonomi dengan dasar upah murah dan pekerjaan yang tidak terjamin. Hanya pembelanjaan domestik dengan dasar pekerjaan tetap, dan upah layak yang dapat membantu Indonesia pulih dari pandemik,” kata Subono dalam keterangannya, Jakarta, Senin (5/10/2020).
Sementara itu, Ketua Umum PPIP PS Kuncoro menyampaikan, jika RUU imnibus law RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang, maka berpotensi melanggar tafsir konstitusi, terutama dalam subklaster ketenagalistrikan.
Baca: Buruh Bakal Dibayar Lebih Rendah di RUU Cipta Kerja? Begini Penjelasannya
Menurutnya, putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, tidak digunakan sebagai rujukan pada RUU Cipta Kerja dan mengakibatkan adanya pelanggaran UUD 1945 NRI Pasal 33 ayat (2).
"Tenaga listrik yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara, dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak lagi dikuasai negara, yang ujungnya berpotensi akan mengakibatkan kenaikan tarif listrik ke masyarakat," paparnya.
Oleh karena itu, serikat pekerja tersebut yang mengaku mewakili lebih dari 110 juta anggota di dunia, akan melakukan perlawanan bersama-sama untuk menolak RUU Cipta Kerja dengan menyuarakan lima hal.
1. Menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja pada tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI, apalagi mengesahkannya menjadi undang-undang.
2. Memastikan bahwa UU No 13/2003 tidak boleh diubah atau dikurangi. Kalaupun ada penguatan hanya sebatas pada fungsi pengawasan pelatihan, pendidikan dan sebagainya sehingga akan sesuai dengan kondisi sekarang.
3. Merundingkan kembali dan membuka dialog konstruktif dengan serikat pekerja untuk mencapai dan membahas masalah yang tidak tercakup dalam UU Ketenagakerjaan No.13/2003.
4. Memastikan pasal-pasal di dalam sub-klaster Ketenagalistrikan yang sudah mendapat putusan dari Mahkamah Konstitusi tidak dihidupkan lagi dalam RUU Cipta Kerja.
5. Mendukung agenda buruh Indonesia yang akan melakukan mogok nasional pada tanggal 6, 7, dan 8 Oktober 2020.