KPK Minta Subsidi Gas 3 Kilogram Diganti Bantuan Langsung karena Tak Efektif
KPK meminta pemerintah dan Pertamina mengevaluasi Perpres Nomor 38 Tahun 2019 terkait perluasan penggunaan LPG bersubsidi.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Dari kajian yang dilakukan, KPK menemukan tata kelola program LPG 3 kilogram bermasalah sejak dari proses perencanaan, operasional, pengendalian hingga pengawasan.
"Subsidi harga LPG 3 kg bermasalah mulai dari perencanaan, operasional, pengendalian, dan pengawasan serta mekanisme pengendalian melalui distribusi tertutup terbukti gagal," katanya.
Persoalan pada aspek perencanaan misalnya, KPK menemukan tidak jelasnya kriteria pengguna LPG bersubsidi.
Tidak ada kriteria spesifik atau definisi masyarakat miskin penerima subsidi.
Selain itu, tidak jelas jenis usaha mikro apa saja yang dimaksud yang bisa menerima subsidi serta penentuan kriteria usaha mikro diserahkan ke pangkalan.
"Tidak akuntabelnya penetapan kuota penerima LPG bersubsidi. Usulan dari daerah tidak didasarkan pada data calon penerima yang valid. Misalnya, usulan yang diajukan provinsi selalu meningkat, padahal data BPS menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut. Pada tahun 2018, dari 404 kabupaten/kota hanya 67 yang mengajukan usulan penerima subsidi dan diterima oleh Kementerian ESDM," katanya.
Sementara dari aspek pelaksanaan, KPK menemukan lemahnya sistem pengawasan distribusi dan kurangnya sosialisasi dari Pertamina dan agen kepada pangkalan menyebabkan banyak pangkalan tidak mengisi logbook dengan benar.
Selain itu, KPK juga menemukan minimnya sanksi yang diberikan Pertamina kepada agen serta dari agen kepada pangkalan yang menjual di atas harga eceran tertinggi (HET) atau logbook tidak sesuai.
KPK juga menemukan lemahnya kendali dalam implementasi penetapan harga eceran tertinggi Tidak ada ketentuan mengenai bagaimana pemda mengatur HET dan Kementerian ESDM pun tidak mengevaluasi HET Pemda.
"Agen jarang melakukan pengawasan ke pangkalannya, seperti Pertamina tidak selalu mengawasi agennya. Dinas Perdagangan Kabupaten/ Kota tidak mempunyai wewenang untuk menindak, hanya bisa memberikan imbauan. Selain itu harga di pangkalan lebih tinggi dari HET dan HET tidak dievaluasi secara berkala," katanya.
KPK juga menemukan tidak operasionalnya pengaturan zonasi distribusi LPG Public Service Obligation (PSO).
Dikatakan Ipi, pembagian alokasi ditentukan oleh Kementerian ESDM dengan memperhitungkan kebutuhan per kabupaten/kota sebagaimana usulan.
KPK menemukan penentuan alokasi per daerah berdampak kesulitan di level operasional, yaitu kekurangan di suatu daerah tidak dapat dipenuhi oleh daerah lain yang kelebihan walaupun berdekatan/berbatasan.
Sebaliknya, kelebihan di suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain.
"Dampaknya, terjadi manipulasi pengisian logbook. Semakin banyak persentase ke pengecer, maka harga semakin tidak terkendali. Ada indikasi pembelian rutin dan jumlah banyak oleh UMKM/RT untuk dijual kembali," kata Ipi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.