KPK Temukan Sejumlah Masalah dari Program LPG 3 Kg
Dari kajian yang dilakukan pada rentang Januari-Juli 2019 itu, KPK mengungkapkan menemukan sejumlah permasalahan.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
Selanjutnya, imbuh Ipi, tidak akuntabelnya penetapan kuota penerima LPG bersubsidi.
Yakni, usulan dari daerah tidak didasarkan pada data calon penerima yang valid. Misalnya, usulan yang diajukan provinsi selalu meningkat, padahal data BPS
menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut.
"Pada tahun 2018, dari 404 kabupaten/kota hanya 67 yang mengajukan usulan penerima subsidi dan diterima oleh Kementerian ESDM," ujar Ipi.
Kemudian terkait aspek pelaksanaan, Ipi mengungkapkan, dari kajian KPK pihaknyak menemukan lemahnya sistem pengawasan distribusi LPG 3 kg.
Menurut KPK, kurangnya sosialisasi dari Pertamina dan agen kepada pangkalan menyebabkan banyak pangkalan tidak mengisi logbook dengan benar.
"Minimnya sanksi kepada agen oleh Pertamina dan minimnya sanksi dari agen ke pangkalan untuk yang menjual di atas harga eceran tertinggi (HET) atau logbook tidak sesuai," ungkapnya.
Tidak hanya itu, dalam aspek pelaksanaan program LPG bersubsidi ini, KPK menyebut adanya kelemahan kendali dalam implementasi penetapan harga eceran tertinggi.
Misalnya, tidak ada ketentuan mengenai bagaimana pemda mengatur HET; Kementerian ESDM tidak mengevaluasi HET Pemda; dan agen jarang melakukan pengawasan ke pangkalannya, seperti Pertamina tidak selalu mengawasi agennya.
"Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota tidak mempunyai wewenang untuk menindak,
hanya bisa memberikan himbauan; harga di pangkalan lebih tinggi dari HET; serta HET tidak dievaluasi secara berkala," urai Ipi.
Masih dalam aspek pelaksanaan program LPG bersubsidi, permasalahan lainnya yang dikaji KPK terkait tidak operasionalnya pengaturan zonasi distribusi LPG Public Service Obligation (PSO).
"Pembagian alokasi ditentukan oleh KESDM dengan memperhitungkan kebutuhan per kabupaten/kota sebagaimana usulan," tutur Ipi.
Kata Ipi, penentuan alokasi per daerah berdampak kesulitan di level operasional, yaitu kekurangan di suatu daerah tidak dapat dipenuhi oleh daerah lain yang kelebihan walaupun berdekatan/berbatasan dan kelebihan di suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain.
"Dampaknya, terjadi manipulasi pengisian logbook. Semakin banyak persentase ke pengecer, maka harga semakin tidak terkendali. Ada indikasi pembelian rutin dan jumlah banyak oleh UMKM/RT untuk dijual kembali," kata dia.
Atas dasar temuan dari kajian tersebut, KPK menyimpulkan tiga poin.