Tepis Pernyataan ICW, Polri Tegaskan Pengadaan Alat Dalmas untuk Pengamanan Pilkada Serentak 2020
Menurut Awi, uang itu digunakan bukan untuk pengadaan pengamanan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan transaksi belanja anggaran Polri sebesar Rp 408,8 milliar yang diduga untuk pengamanan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja pada September 2020 lalu.
Menanggapi hal itu, Karo Penmas Humas Polri Brigjen Awi Setyono membenarkan adanya transaksi belanja yang dilakukan oleh Polri pada September 2020 lalu.
Namun demikian, jumlah transaksi yang dibelanjakan sebesar Rp 135 miliar.
Menurut Awi, uang itu digunakan bukan untuk pengadaan pengamanan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Akan tetapi, uang itu digunakan untuk pengadaan alat pengamanan Pilkada Serentak 2020.
"Itu anggaran 2020 di Korp Sabhara untuk perlengkapan Dalmas mulai dari helm, body, pelindung kaki, tameng, tongkat, dan lain-lain perlengkapan perorangan. Itu dikhususkan untuk pengadaan alat-alat dalmas bagi Polda-polda yang melaksanakan pilkada serentak," kata Awi di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (12/10/2020).
Awi menjelaskan anggaran Rp 135 miliar untuk pengadaan pengamanan Pilkada Serentak 2020 juga terbilang kecil.
Baca juga: Pengamat: Ketegasan Bawaslu Menindak Pelanggaran di Pilkada Perlu Diketahui Publik
Apalagi, kata dia, untuk memenuhi kebutuhan seluruh Polda di daerah Indonesia.
"Rp 135 miliar itu kecil, tidak memenuhi seluruh Polda. Ini khusus polda-polda aja yang melaksanakan pilkada serentak. Itu pun kalau kita tanya pak Dalmas? Kurang, karena apa? mobil-mobil yang dirusak itu mahal itu bukan murah," jelasnya.
Atas dasar itu, ia mengungkapkan masyarakat untuk tidak perlu khawatir terkait transparansi penggunaan anggaran yang dilakukan polri.
"Kalau masalah anggaran jangan khawatir. Kita sangat transparan makanya bisa diakses di LPSE. Karena itu ditenderkan terbuka dan sudah berjalan. Bahkan BPK melakukan pemeriksaan itu tidak ada masalah. Tapi ada apa dikaitkan dengan demo sekarang," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), Polri telah membelanjakan anggaran sebesar Rp408,8 miliar di September 2020.
Peneliti ICW Wana Alamsyah menduga kegiatan belanja itu dipergunakan untuk membeli alat pengamanan terkait langkah antisipatif aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
"LPSE Polri mencatat sejumlah pengadaan barang yang bersumber dari APBNP dan tercatat sebagai 'kebutuhan dan/ atau anggaran mendesak', yang diduga berkaitan dengan antisipasi aksi massa penolakan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law," kata Wana dalam keterangannya, Jumat (9/10/2020).
ICW merinci ada lima pengadaan barang terkait pengamanan yang dilakukan Polri.
Pertama, pengadaan sentralized command control for intelligence target surveillance sebesar Rp179,4 miliar untuk satuan kerja Korbrimob Polri dengan tanggal pembuatan 16 September 2020.
Kedua, pengadaan helm dan rompi antipeluru (Rp90,1 miliar) untuk satuan kerja Baintelkam Polri dengan tanggal pembuatan 21 September 2020.
Ketiga, peralatan tactical mass control device (Rp66,5 miliar) untuk satuan kerja SLOG Polri dengan tanggal pembuatan 28 September 2020.
Keempat, peralatan counter UAV and serveillanceKorbrimob (Rp69,9 miliar) untuk satuan kerja Korbrimob Polri dengan tanggal pembuatan 25 September 2020.
Kelima, pengadaan drone observasi tactical (Rp2,9 miliar) untuk satuan kerja Korbrimob Polri dengan tanggal pembuatan 25 September 2020.
Apabila dijumlah, total pengadaan kelima paket tersebut adalah Rp408,8 miliar, dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar satu bulan bulan.
"Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan dan menguatkan dugaan bahwa Polri terlibat dalam upaya sistematis untuk membungkam kritik dan aksi publik," kata Wana.
Seperti diketahui, aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja terjadi di sejumlah wilayah, termasuk di DKI Jakarta.
Tidak sedikit aksi unjuk rasa tersebut yang berujung pada kericuhan atau bentrok antara demonstran dan aparat.
Mulai dari Jakarta, Tangerang, Bekasi, Medan, hingga Gorontalo terjadi bentrokan antara massa aksi dengan aparat keamanan.