Apa Peran dan Kesalahan Syahganda, Jumhur, dan Anton Permana Sehingga Ditangkap Polisi?
Polri membenarkan telah menangkap sejumlah tokoh anggota Komite Ekesekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Penulis: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polri membenarkan telah menangkap sejumlah tokoh anggota Komite Ekesekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Setidaknya, ada tiga petinggi koalisi itu yang ditangkap. Mereka adalah Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana.
Syahganda Nainggolan dijemput petugas dari Bareskrim pukul 04.00 WIB tadi menjelang shubuh di kediamannya di Depok, Jawa Barat, Selasa (13/10/2020).
Baca juga: Dulu Pendukung Jokowi, Kini Ditangkap Bareskrim Polri, Ini Rekam Jejak Aktivis KAMI Jumhur Hidayat
Sementara Jumhur ditangkap di kediamannya di Cipete, Jakarta Selatan. Dia ditangkap sekitar pukul 07.00 WIB.
Sebelumnya, tokoh KAMI yang ditangkap terlebih dahulu adalah Anton Permana.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono, mengatakan, Anton pada pukul 24.00-02.00 WIB ditangkap di Rawamangun di rumah saudaranya.
Kenapa mereka ditangkap?
Mabes Polri hingga berita ini diturunkan belum memberikan keterangan resmi soal alasan penangkapan tiga tokoh KAMI tersebut.
Menurut Brigjen Awi, ketiga orang tersebut masih menjalani pemeriksaan oleh penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Namun beredar informasi di kalangan media, Syahganda diduga melakukan tindak pidana penyebaran berita bohong atau hoaks lewat media sosial. Diduga hal itu berkaitan dengan penolakan UU Cipta Kerja.
Sementara Anton ditangkap lantaran diduga menuliskan tulisan di Facebook dan WhatsApp terkait Omnibus Law (UU Cipta Kerja) dengan sangkaan awal menyebarkan berita hoaks.
Baca juga: Profil Jumhur Hidayat: Dipecat SBY hingga Pejuang TKI, Kini Petinggi KAMI Itu Ditangkap Polisi
Khusus Jumhur, belum ada informasi jelas mengenai alasan penangkapannya. Namun diduga tidak jauh dari penolakan UU Cipta Kerja.
Berikut rekam jejak Syahganda Nainggolan, Anton Permana, dan Jumhur Hidayat
Syahganda Nainggolan diketahui duduk sebagai Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Pria kelahiran Medan, 27 November 1965 tersebut tercatat pernah mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1984-1989.
Tetapi, ia di drop out karena aktivitas politiknya menentang pemerintahan Orde Baru. Ia pun akhirnya menyelasikan jenjang S1-nya di Universitas swasta.
Kemudian, ia mengambil pendidikan S2 Progam Studi Pembangunan di ITB dan tamat tahun 2005.
Lalu, ia meraih gelar doktor bidang perburuhan pada 2015 dari FISIP Universitas Indonesia (UI dengan desertasi berjudul "Analisa Pengaruh Jaminan Upah Layak, Jaminan Sosial, dan Solidaritas Sosial Terhadap Kesejahteraan Buruh".
Baca juga: Mabes Polisi Juga Mengaku Tangkap Dua Deklarator KAMI, Jumhur Hidayat dan Anton Permana
Sosok Syahganda Nainggolan tidak asing lagi di kalangan aktivis.
Sehari-harinya Syahganda adalah Direktur Sabang-Merauke Circle, sebuah lembaga kajian politik dan kebijakan.
Anggota dewan pengarah Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA ITB) Pusat ini pernah muncul ke permukaan ketika namanya disebut-sebut mengelola akun twitter anonim @Triomacan2000 yang twit-twitnya sempat menghebohkan jagat politik Indonesia di 2012.
Namun, tuduhan itu lagsung dibantah Syahganda Nainggolan.
Dalam sebuah wawancara seperti dikutip Tribunnews, dirinya bukan tipikal orang yang biasa menggunakan twitter untuk pendapat, analisa, dan komentar.
Apalagi menggunakan nama atau dengan menyembunyikan identitas asli.
Baca juga: Petinggi KAMI Syahganda, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana Ditangkap Polisi, Ini Sosok Ketiganya
Untuk mengungkapkan pendapat publik, ia kerap mewakili institusi SMC atau mengatasnamakan lembaga resmi lainnya, yang sejauh ini dikomunikasikan dalam ruang terbuka dan melalui penyampaikan di media massa umum.
Saat sejumlah tokoh nasional seperti Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda juga ikut berkiprah di sana.
Sempat ramal Jokowi jatuh
Sebagai pengamat politik, Syahganda Nainggolan pernah menghebohkan publik.
Itu terjadi ketika dalam sebuah wawancara untuk tayangan YouTube Realita TV di 29 Februari 2020, dia membuat prediksi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan jatuh dalam enam bulan lagi.
Prediksi Syahganda Nainggolan itu didasarkan pada kondisi pemerintahan Jokowi yang mengalami banyak masalah termasuk wabah Virus Corona.
Mulanya, Syahganda menyoroti soal pemindahan Ibu Kota Negara ke Pulau Kalimantan.
Menurutnya, Jokowi pergi ke luar negeri untuk mencari dana demi memindahkan Ibu Kota ke Pulau Kalimantan.
"Jokowi baru ke Australia cari uang untuk ibu kota baru, dia ke Canbera dan lain-lain," kata Syahganda saat itu.
"Kemudian Luhut Binsar Pandjaitan membawa orang ramai-ramai cari uang ke Amerika untuk investasi di Ibu Kota baru."
"Jadi tema mereka ini tema yang aneh yang sebenarnya udah di luar akal sehat," kata dia.
Saat itu, Syahganda menyinggung jumlah uang yang digelontorkan pemerintahan Jokowi untuk membayar para buzzer.
"Makanya mereka membayar buzzer 72 miliar untuk membuat suasana supaya lebih heboh, lebih hebat, kondusif," ujar Syahganda.
Jumhur Hidayat diketahui duduk sebagai Komite Eksekutif KAMI.
Namanya juga tidak asing di masyarakat, selain dikenal sebagai aktivis sejak era 80-an, Jumhur Hidayat juga pernah menduduki jabatan di pemerintahan.
Jumhur menjadi aktivis saat masih berstatus mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dilansir dari Kompas.com, Jumhur pernah dipenjara karena terlibat dalam aksi mahasiswa yang menolak kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini pada 1989.
Selain menjadi aktivis, dia pun pernah meniti karier politik lewat Partai Daulat Rakyat yang mengikuti Pemilu 1999.
Di partai tersebut, dia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal.
Jumhur masih menempati jabatan yang sama saat Partai Daulat Rakyat bergabung bersama tujuh partai politik lain untuk membentuk Partai Sarikat Indonesia pada 2002.
Namun, partai itu gagal dalam Pemilu 2004.
Setelahnya, Jumhur meninggalkan kegiatan politik dan lebih memilih dunia pergerakan.
Dia sempat bergabung pula dengan organisasj Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Gaspermindo).
Pria kelahiran Bandnug 18 Februari 1968 tersebut tercatat pernah menduduki jabatan Kepala Badan Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TK) saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ia diangkat menjadi Kepala BNP2TKI pada 11 Januari 2007.
Kemudian SBY memberhentikannya pada 11 Maret 2014.
Pemberhentian Jumhur oleh SBY juga sempat menjadi teka-teki.
Jumhur telah menjabat Kepala BNP2TKI lebih dari tujuh tahun.
Dalam Pasal 117 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 antara lain diatur bahwa jabatan pimpinan tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun.
Karena itu, pejabat eselon I, yang sudah lebih dari 5 tahun menduduki jabatan yang sama, harus dimutasi ke jabatan lain, atau diberhentikan.
Namun, ada juga yang mengaitkan pemecatan Jumhur dilakukan setelah dia bergabung dengan PDI-P.
Berdasarkan catatan pemberitaan Tribunnews.com, di tahun yang sama Jumhur mendirikan Aliansi Rakyat Merdeka (ARM) dan mendukung pemenangan PDI-P serta pencalonan Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon Presiden pada Pemilu 2014.
Saat itu, Jumhur mengaku tidak ada kesepakatan khusus dengan parpol tersebut.
"Saya memilih PDIP atas kehendak sendiri, dan tidak ada deal apa-apa dengan PDI-P, ingat ini ya. Saya pokoknya itu dijalankan (Trisakti Bung Karno) sudah cukup," kata Jumhur usai menghadiri deklarasi ARM Yogyakarta mendukung pencapresan Jokowi di Nusantara Café, Jalan Nologaten, Sleman, DIY, Kamis (20/3/2014).
Menurut dia, pendirian ARM pada 8 Maret lalu dan pemilihan PDI-P dalam pemenangan Pemilu mendatang adalah murni atas kehendaknya sendiri.
Ia juga menolak bahwa bergabungnya dirinya itu karena kekecewaannya atas ditolaknya sebagai peserta Konvensi Capres Partai Demokrat, serta dipecatnya dari jabatan Kepala (BNP2TKI)11 Maret lalu.
"Saya adalah civil society menjabat sebagai Kepala BNPTKI dan saya terima kasih memeroleh pengalaman di situ. Namun saya harus punya orientasi politik, ya seperti Trisakti Bung Karno. Maka saya melihat waktu itu ada kesempatan untuk konvensi, kalau saya ada di situ pasti bisa ikut. Tapi saya tidak diajak," ucapnya.
Padahal, lanjutnya, setiap warga negara memiliki hak untuk bergabung dalam konvensi capres tersebut.
Namun, ia justru mengaku tidak diberikan kesempatan untuk berkompetisi menuangkan gagasan-gagasan demi kemajuan bangsa.
"Setiap warga negara punya hak. Bukannya kecewa. Saya tidak boleh ikut artinya ya saya boleh ke mana saja," ujar dia.
Anton Permana diketahui sebagai salah satu deklator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Ia tercatat sebagai pengamat sosial politik, dan Alumni PPRA Lemhannas RI Tahun 2018.
Anton Permana diketahui pernah menjadi Pengurus Daerah Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri di Provinsi Kepulauan Riau.
Tidak banyak informasi soal Anton Permana termasuk rekam jejaknya.