Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Indonesia Bisa Bersaing di Dunia dengan UU Cipta Kerja

Kadin menilai Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja menjadi pintu masuk Indonesia untuk bersaing secara ekonomi di panggung dunia.

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Indonesia Bisa Bersaing di Dunia dengan UU Cipta Kerja
Tribunnews/JEPRIMA
Sejumlah mahasiswa saat menggunakan angkutan umum untuk berunjuk rasa di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, Selasa (13/10/2020). Massa membawa sejumlah atribut untuk menuju lokasi demonstrasi yang di fokuskan dikawasan patung kuda, Mengantisipasi hal tersebut sebanyak 12.000 personel gabungan dari TNI da Polri disiapkan untuk mengamankan aksi tersebut. Tribunnews/Jeprima 

Sekadar catatan, kata Shinta, nilai investasi per Rp 1 triliun hanya mampu menyerap 2.200 pekerja baru pada 2016.

"Sekarang ini penyerapan per Rp 1 triliun itu cuma 1.200. Jadi ini masalah yang harus diperhatikan. Kita harus investasi yang berkualitas," imbuhnya.

Aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke arah massa aksi saat demonstrasi di Gambir, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja berakhir ricuh. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke arah massa aksi saat demonstrasi di Gambir, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja berakhir ricuh. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Dari sisi regulasi, lanjut Shinta, Indonesia paling banyak aturan dan syarat perizinannya, baik dari pusat maupun daerah.

Bahkan  setiap aturan dengan regulasinya pun tumpang tindih sehingga membuat investor terkendala untuk memulai usaha.

Shinta menyadari ada upaya pemerintah pusat dengan membuat Online Single Submission (OSS) untuk mempermudah pengusaha mengajukan perizinan.

Namun, kata Shinta, OSS itu tidak terintegrasi dengan daerah sehingga inovasi itu tidak efektif.

"Ini saya harapkan diharmonisasi pusat dan daerah itu. Satu positifnya UU (Omnibus Law) ini untuk mengharmonisasi peraturan dan izin yang ada," paparnya. 

BERITA TERKAIT

Shinta memandang untuk membangun bisnis di Indonesia biayanya sangat tinggi dibandingkan negara-negara lain.

Hal ini sangat buruk terhadap ekosistem investasi.

Akhirnya, daya saing Indonesia kalah dengan negara tetangga lainnya.

"Pesangon kita nomor dua tertinggi seluruh dunia. Tidak hanya pasangon, upah minimum kita juga paling tinggi sedunia. Saya bandingkan saja dengan negara-negara ASEAN upah minimum. Contoh di Vietnam USD 192, Thailand USD 245, Malaysia USD 294, Indonesia USD 313 pada 2020. Itu paling tinggi upah minimum di ASEAN," kata dia.

Sementara itu, kenaikan upah pun demikian.

Menurut Shinta, rata-rata kebijakan upah di Indonesia, yaitu 9,7 persen.

Hal itu berbanding terbalik dengan Thailand 1,7 persen, Malaysia 5,5 persen, dan Vietnam 7 persen.

"Ini juga cost yang tinggi," jelas dia.

Di samping itu, Shinta mengingatkan 97 persen pengusaha di Indonesia dari sektor UMKM.

Dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat klaster UMKM, di mana sektor tersebut tidak membutuhkan izin, cukup mendaftar untuk memulai usaha.

"Koperasi juga tidak perlu lagi 20 orang, 9 orang sudah cukup membentuk koperasi," tambah Shinta. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas