MUI Ungkap Alasan Usulkan Masa Jabatan Presiden Mendatang 7 Hingga 8 Tahun
Usulan mengenai masa jabatan presiden itu dilatarbelakangi oleh banyaknya gesekan di masyarakat dan ketidakadilan bagi pasangan calon.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Dewi Agustina
Sebelumnya usulan mengenai masa jabatan presiden jabatan presiden diubah menjadi delapan tahun dan tak bisa dipilih lagi pada periode selanjutnya pernah dilontarkan ahli hukum tata negara, Refly Harun.
Menurut dia, perubahan masa jabatan presiden akan berdampak pada kinerja sehingga perlu dipertimbangkan.
"Jadi misal ada penambahan jadi tujuh tahun itu berlaku next, presiden berikutnya (setelah Presiden Jokowi). Agar kemudian perbincangan masa jabatan presiden ini tidak bias untuk presiden yang menjabat sekarang," kata Refly dalam sebuah diskusi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, masa jabatan presiden selama lima tahun kurang efektif. Sebab, enam bulan pertama presiden tersebut harus melakukan penyesuaian, seperti konsolidasi internal bersama partai politik pengusungnya dan membuat nomenklatur kementerian.
Alasan selanjutnya, Refly melihat bahwa di lima tahun pertama Presiden Jokowi hanya fokus bekerja selama 2,5 tahun.
Sementara dua tahun terakhir, mantan wali kota Solo itu mulai meninggalkan urusan publik dan fokus untuk kampanye.
Baca juga: Usulan MUI Soal Masa Jabatan Presiden 7-8 Tahun Harus Amandemen UUD 1945
Munas MUI sendiri rencananya akan digelar pada 25 hingga 28 November 2020 di Jakarta.
Selain masa jabatan presiden, ada sejumlah fatwa yang akan dibas pada tiga bidang, yaitu masalah sosial budaya, ibadah, dan ekonomi syariah.
Ketua Tim Materi Fatwa Munas MUI, Asrorun Niam Sholeh mengatakan, ada sejumlah fatwa yang bakal dibahas yakni tentang perencanaan haji belia dan dana talangan haji, pengawasan pengelolaan zakat dan zakat perusahaan, dan wakaf.
Kemudian fatwa tentang pemilihan umum, periode masa bakti presiden hingga pilkada dan politik dinasti.
"Tiga bidang itu juga mencakup rencana fatwa termasuk periode masa bakti presiden, pilkada dan politik dinasti, serta paham komunisme," kata Niam, Senin (19/10/2020).
Sekretaris Komisi Fatwa MUI itu menyatakan, dalam pembahasan fatwa tersebut juga akan membicarakan berbagai hal terkait dengan penanganan Covid-19, seperti tentang vaksin, penanggulangannya, rambu-rambu adaptasi kehidupan baru, pemanfaatan bagian tubuh manusia untuk menjadi bahan pengobatan, dan hal terkait lainnya.
Komisi Fatwa MUI, kata Niam, terus menggelar rapat internal dengan mengundang para ahli untuk membahas rencana fatwa yang sudah difinalisasi sampai akhir Oktober.
Dengan begitu, dua pekan sebelum munas berlangsung, peserta munas sudah menerima materi draf fatwa dan mempelajari untuk dibahas pada saat Munas.