52,5 Persen Masyarakat Tak Puas Kinerja Jokowi-Ma'ruf, Pengamat: Ini Lampu Merah untuk Berbenah Diri
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Ujang Komarudin mengatakan angka tersebut adalah lampu merah bagi Jokowi-Ma'ruf.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil survei Litbang Kompas menyatakan sebanyak 52,5 persen responden tidak puas terhadap kinerja Jokowi-Ma'ruf Amin dalam satu tahun terakhir.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Ujang Komarudin mengatakan angka tersebut adalah lampu merah bagi Jokowi-Ma'ruf.
"52,5% merupakan angka yang tinggi dalam hal ketidakpuasan. Ini lampu merah bagi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Karena rapotnya merah, maka harus berbenah diri," ujar Ujang, ketika dihubungi Tribunnews.com, Rabu (21/10/2020).
Ujang mengatakan ketika masyarakat tak puas, maka pasti ada yang salah dalam pengelolaan pemerintahan.
Satu tahun menjabat dapat menjadi momentum bagi Jokowi-Ma'ruf untuk merefleksikan dan mengevaluasi diri.
Baca juga: Jokowi-Maruf Disebut Royal Terhadap Utang, PPP : PKS Kurang Memahami Utang yang Dimaksud BI
Menurut Ujang, faktor ketidakpuasan masyarakat beragam, satu di antaranya pemerintah dinilai tak aspiratif atas keinginan rakyat atau membuat kebijakan yang tak pro rakyat.
Kebijakan-kebijakan yang dimaksud Ujang antara lain revisi UU KPK, revisi UU Minerba, kenaikan iuran BPJS, dan menetapkan UU Cipta Kerja.
"Polemik UU menjadi penilaian ketidakpuasan rakyat atas Jokowi-Ma'ruf. UU banyak dibuat untuk kepentingan elite, bukan untuk kepentingan rakyat. Wajar jika rakyatnya tak puas," kata dia.
"Demokrasi hanya di atas kertas. Seolah-olah kita berdemokrasi tapi nyatanya beroligarki ria. Ruang berdemokrasi bukan hanya sempit, tapi juga hampir tertutup," imbuhnya.
Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf Amin, Arsul Sani : Reshuffle Tidak Jamin Tingkatkan Kinerja Pemerintahan
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review tersebut menilai solusi bagi pemerintah saat ini adalah mendengarkan suara rakyat.
"Jika pemerintah dan DPR aspiratif, maka tak akan ada ketidakpercayaan itu. Jadi harus mendengar dan mengikuti aspirasi rakyat. Rakyat tak akan protes dan demo jika tak ada pemicunya, dimana pemicunya itu kan kebijakan pembuatan UU yang tak pro rakyat," kata Ujang.
Ujang juga mengimbau pemerintah jangan berkelit dan mencari pembenaran dengan menggunakan pandemi sebagai alasan menurunnya kinerja pemerintah hingga tingkat kepercayaan masyarakat.
Menurutnya, jika pemerintahnya kompak dan solid bekerja hanya untuk rakyat, tentu tak mungkin tingkat kepuasan dari masyarakat rendah.
"Jadi pandemi jangan menjadi alasan dan pembenaran melorotnya kinerja pemerintah dan menurunnya tingkat kepercayaan publik, yang terpenting sekarang menunaikan janji kampanye hingga membuat UU dan program yang pro rakyat," tandasnya.