Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

YLBHI Nilai Terjadi Pergeseran Cara Pandang Pemerintah Terhadap Demonstrasi

Padahal, penyampaian pendapat di muka umum dilindungi dan dijamin oleh konstitusi.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in YLBHI Nilai Terjadi Pergeseran Cara Pandang Pemerintah Terhadap Demonstrasi
Surya/Ahmad Zaimul Haq
Massa elemen buruh dan mahasiswa dari Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) bergerak menuju Gedung Grahadi, Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (20/10/2020). Rencananya mereka akan menggelar aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja hingga 23 Oktober 2020. Surya/Ahmad Zaimul Haq 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai terjadi pergeseran cara pandang pemerintah dalam menangani aksi demonstrasi.

Isnur mengatakan, dalam hal ini aparat kepolisian kerap kali menggunakan tindakan represif untuk menangani suatu demonstrasi, seperti yang terjadi belakangan ini yaitu aksi penolakan terhadap UU Cipta Kerja.

Padahal, penyampaian pendapat di muka umum dilindungi dan dijamin oleh konstitusi.

Baca juga: Demo Menolak UU Cipta Kerja di Jakarta: Ada Aksi Teatrikal, Para Demonstran Bubar tanpa Bentrokan

Hal itu disampaikannya dalam Forum Proklamasi dan Demokrasi bertajuk 'Antara Demonstrasi, Represi dan Chaos Informasi', yang diselenggarakan Balitbang DPP Partai Demokrat, Selasa (20/10/2020) malam.

"Di sini kami menyimpulkan bahwa terjadi pergeseran cara pandang pemerintah khususnya aparat penegak hukum terkait demonstrasi bahwa kalau pada prinspinya dilindungi konstitusi tapi menjadi semacam perlu diwaspadai karena kejahatan," ujar Isnur.

"Orang berdemonstrasi itu kayak semacam sebuah dosa, sebuah kejahatan yang harus dihalangi, diburu, dan ditangkap," imbuhnya.

Baca juga: Sisi Lain Demo UU Cipta Kerja Kemarin: Nenek Marahi Polisi hingga Demonstran yang Dijemput Ibunya

Berita Rekomendasi

Isnur juga menyesalkan, tidak adanya akutabilitas dan evaluasi cara-cara aparat dalama menangani sebuah aksi unjuk rasa.

Ia mencontohkan, Randi dan Yusuf, mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, yang ditembak mati polisi saat berdemo.

"Negara dalam posisi ini tidak menjalankan akuntabilitasnya terhadap peristiwa-peristiwa pelanggaran. Negara ini kan dibuat dikontruksikan ada aturan, ada SOP, ketika ada pelaku-pelaku pelanggarannya ada akuntabilitasnya ada evaluasinya," ucapnya.

"Dan korban-korban ini sama sekali tidak ada pemulihannya, sampai sekarang keluarganya Randi dan Yusuf di Kendari masih mempertanyakan ini bagaimana, siapa pembunuhnya, bagaimana hukumannya," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas