Pasal 46 Soal Migas Hilang Dari UU Cipta Kerja, Ini Penjelasan DPR RI
Baleg DPR bersama pemerintah mengakui telah menghapus Pasal 46 soal minyak dan gas bumi (migas) dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah mengakui telah menghapus Pasal 46 soal minyak dan gas bumi (migas) dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2021 tentang Minyak dan Gas Bumi, memang seharusnya tidak ada di dalam UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR bersama pemerintah.
Namun, pasal tersebut belum dihapus saat DPR menyerahkan draf final UU Cipta Kerja ke pemerintah pada 14 Oktober 2020.
Baca juga: Mensesneg Pastikan Naskah UU Cipta Kerja Setebal 1.187 Halaman Sama dengan yang Diserahkan DPR
"Jadi kebetulan Setneg (Kementerian Sekretariat Negara) yang temukan. Jadi itu (Pasal 46) seharusnya memang dihapus," ujar Supratman saat dihubungi, Jakarta, Kamis (22/10/2020).
Menurutnya, Pasal 46 berisi terkait tugas BPH Migas, di mana awalnya pemerintah mengusulkan kewenangan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa atau toll fee dialihkan dari BPH Migas ke Kementerian ESDM.
Baca juga: Istana Pastikan Naskah UU Cipta Kerja yang Akan Ditandatangani Jokowi Sama dengan yang Disetor DPR
Setelah dibahas pada rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja, kata Supratman, usulan pemerintah tersebut tidak dapat diterima pada waktu itu.
"Tapi naskah yang kami kirim ke Setneg ternyata masih tercantum ayat 1-4 (dalam Pasal 46)," katanya.
"Karena tidak ada perubahan (kewenangan toll fee), Setneg mengklarifikasi ke Baleg, dan saya berkonsultasi ke kawan-kawan, seharusnya tidak ada (Pasal 46) karena kembali ke undang-undang eksisting," sambung Supratman.
Baca juga: Politikus PKS Beberkan Draf Naskah RUU Cipta Kerja yang Kerap Mengalami Perubahan
Diketahui, Pasal 46 UU Migas sebelumnya tercantum dalam naskah UU Cipta Kerja setebal 812 halaman yang dikirimkan DPR kepada Presiden Joko Widodo.
Namun, pasal tersebut dihapus dari naskah UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman yang dikirimkan Sekretariat Negara ke sejumlah organisasi masyarakat Islam.
Sementara, terkait keberadaan Bab tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Restribusi yang mengalami perubahan posisi di draf terbaru UU Ciptaker.
Supratman menyebut, ketentuan tersebut seharusnya berada di Bab VIIA.
Dalam naskah draf UU Ciptaker 812 halaman, ketentuan terkiat kebijakan fiskal nasional diatur dalam Bab VIA.
Posisinya disisipkan antara Bab VI dan Bab VII. Namun, dalam naskah versi terbaru dari pemerintah yang berjumlah 1.187 halaman, bab tersebut menjadi Bab VII A. Disisipkan antara Bab VII dan Bab VIII.
"Ternyata setelah kami cek seharusnya Bab VII A. Itu kan hanya soal penempatan saja, tidak mengubah isi sama sekali," kata Supratman.
Naskah UU Cipta Kerja yang Akan Ditandatangani Jokowi Sama dengan yang Disetor DPR
ihak Istana Kepresidenan RI melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan bahwa mengukur kesamaan dokumen dengan menggunakan indikator jumlah halaman dapat menyebabkan miss leading.
Karena menurut Pratikno naskah yang sama ditulis dalam format kertas dan huruf yang berbeda, akan menghasilkan jumlah halaman yang berbeda pula.
Sementara setiap naskah UU yang akan ditandatangani Presiden dilakukan dalam format kertas Presiden dengan ukuran yang baku.
Pernyataan Pratikno tersebut terkait pernyataan Ormas Muhammadiyah yang menyebut telah menerima naskah UU Cipta Kerja setebal 1187 halaman.
Sementara naskah UU Cipta Kerja yang diserahkan DPR ke Pemerintah pada 15 Oktober lalu setebal 812 halaman.
"Tentang perbedaan jumlah halaman, kami sampaikan bahwa mengukur kesamaan dokumen dengan menggunakan indikator jumlah halaman, itu bisa mis-leading. Sebab, naskah yang sama, yang diformat pada ukuran kertas yang berbeda, dengan margin yang berbeda dan font yang berbeda, akan menghasilkan jumlah halaman yang berbeda," katanya kepada wartawan, Kamis (22/10/2020).
Baca juga: Sekjen MUI Minta Pemerintah Tunda Pemberlakuan UU Cipta Kerja
Menurutnya, sebelum disampaikan kepada Presiden, setiap naskah RUU dilakukan formating dan pengecekan teknis terlebih dahulu oleh Kementerian Sekretariat Negara agar siap untuk diundangkan.
"Setiap item perbaikan teknis yang dilakukan, seperti typo dan lain lain, semuanya dilakukan atas persetujuan pihak DPR, yang dibuktikan dengan paraf Ketua Baleg," pungkasnya.
Pratikno memastikan substansi RUU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensetneg untuk ditandatangani Presiden sama dengan naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan oleh DPR kepada Presiden.
"Substansi RUU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensetneg (1187 halaman) sama dengan naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan oleh DPR kepada Presiden," pungkasnya.