Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sebut Jokowi-Maruf Sukses Kebiri KPK, Nasdem: Mungkin ICW Hanya Lihat Banyak Koruptor yang Ditangkap

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni berpendapat ICW mungkin hanya melihat berdasarkan berapa banyak koruptor yang ditangkap oleh KPK.

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Sebut Jokowi-Maruf Sukses Kebiri KPK, Nasdem: Mungkin ICW Hanya Lihat Banyak Koruptor yang Ditangkap
istimewa
Ahmad Sahroni 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf berjalan sukses mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

ICW mencatat misi penegakan hukum yang diusung oleh Jokowi dan Maruf Amin saat mengikuti kontestasi politik tidak pernah terealisasi, khususnya keberpihakan pada sektor pemberantasan korupsi masih menjadi problematika tersendiri.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengaku tak sependapat.

Sahroni berpendapat ICW mungkin hanya melihat berdasarkan berapa banyak koruptor yang ditangkap oleh KPK.

"Saya rasa nggak begitu. Mungkin ICW hanya melihat kinerja KPK dari berapa banyak koruptor yang ditangkap," ujar Sahroni, ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat (23/10/2020).

Baca juga: ICW Sebut 1 Tahun Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin Sukses Mengebiri KPK

Padahal, kata Sahroni, semua pihak sepakat bahwa yang harus digenjot oleh KPK adalah fungsi pencegahan atau bagaimana orang tidak bisa leluasa lagi melakukan korupsi.

"KPK saya lihat makin ke sini makin proaktif masuk ke banyak lini di pemerintahan, untuk mengawasi dan memastikan sistem yang tak bercelah untuk melakukan korupsi," kata dia.

Berita Rekomendasi

Politikus Nasdem tersebut menegaskan fungsi pengawasan yang ketat tentu akan membuat kasus operasi tangkap tangan (OTT) tentu berkurang.

Karenanya, Sahroni mengatakan KPK justru lebih efektif karena mengutamakan pencegahan dalam menyelamatkan uang negara.

"Kalau dengan fungsi pengawasan yang ketat ini orang-orang jadi susah korupsi, ya otomatis kasus OTT juga berkurang kan," jelasnya.

"Jadi saya rasa kita harus melihat hal ini dengan lebih holistik. KPK justru lebih efektif dengan mengutamakan pencegahan untuk selamatkan uang negara," tandas Sahroni.

Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni rampung diperiksa penyidik KPK. Ia diperiksa sebagai saksi kasus suap terkait pembahasan dan pengesahan RKA-K/L dalam APBN-P tahun anggaran 2016 untuk Bakamla, Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (14/2/2020)
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni rampung diperiksa penyidik KPK. Ia diperiksa sebagai saksi kasus suap terkait pembahasan dan pengesahan RKA-K/L dalam APBN-P tahun anggaran 2016 untuk Bakamla, Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (14/2/2020) (Tribunnews.com/Ilham)

Sebelumnya diberitakan, pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin memasuki periode satu tahun setelah dilantik untuk periode kedua.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, misi penegakan hukum yang diusung oleh Jokowi dan Maruf Amin saat mengikuti kontestasi politik tidak pernah terealisasi, khususnya keberpihakan pada sektor pemberantasan korupsi masih menjadi problematika tersendiri.

"Kebijakan yang diambil oleh Presiden selama kurun waktu satu tahun terakhir hanya berfokus pada investasi dan mengabaikan penegakan hukum," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Kamis (21/10/2020).

Kurnia menyebut, salah satu indikator penting untuk menilai komitmen pemberantasan korupsi dari Presiden Jokowi adalah melihat kinerja struktur penegakan hukum.

Menurutnya, mengacu pada Pasal 8 UU Kepolisian dan Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan, maka Presiden pada dasarnya merupakan atasan struktural, baik bagi Kapolri maupun Jaksa Agung.

Begitu pula pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pasca berlakunya UU 19/2019, lembaga antirasuah itu telah dikooptasi sehingga masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif.

Maka dari itu, penilaian atas komitmen eksekutif menjadi relevan saat mengukur keberpihakan penegakan hukum khususnya terhadap pemberantasan korupsi.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai kasus pamer 'gaya hidup mewah' Ketua KPK Firli Bahuri termasuk pelanggaran berat.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai kasus pamer 'gaya hidup mewah' Ketua KPK Firli Bahuri termasuk pelanggaran berat. (Tangkap layar youtube Kompas TV)

Kurnia menilai, sepanjang satu tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Maruf Amin, praktis struktur penegakan hukum pemberantasan korupsi mengalami kemunduran serta diikuti dengan degradasi kepercayaan publik.

"Misalnya saja pada KPK, sejak tahun 2019 yang lalu publik sudah menyuarakan penolakan atas calon pimpinan bermasalah. Namun, Presiden Joko Widodo tetap saja bersikukuh memilih lima orang Pimpinan periode 2019-2023, salah satunya Firli Bahuri," sebut Kurnia.

Kurnia mengatakan, prediksi publik selama ini pun terbukti, Firli dijatuhi sanksi etik karena menggunakan moda transportasi mewah berupa helikopter.

Menurutnya, setidaknya ada tiga problematika di kelembagaan KPK saat ini, mulai dari pengelolaan internal kelembagaan, penindakan, maupun pencegahan.

"Seluruh problematika itu tak bisa dilepaskan begitu saja dari figur Pimpinan yang pada periode lalu dipilih oleh Presiden Joko Widodo bersama dengan DPR. Tak hanya itu, bahkan, sampai pertengahan tahun setidaknya terdapat empat lembaga survei yang menyebutkan bahwa KPK kini tidak lagi menjadi lembaga kepercayaan publik," cetus Kurnia.

Baca juga: ICW Nilai Perjamuan Kajari Jaksel dan Dua Jenderal Polisi Tersangka Kasus Djokcan Janggal

Pada penegak hukum lain, sambung Kurnia, kondisinya pun tidak jauh berbeda, salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat performa buruk Kejaksaan Agung dan Kepolisian adalah kasus narapidana sekaligus buronan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra.

Kasus ini menyeruak ke tengah publik pada pertengahan tahun, yang mana ditemukan adanya dugaan persekongkolan para penegak hukum, baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan Agung.

Sampai saat ini, setidaknya dua perwira tinggi Polri dan satu orang Jaksa diduga melakukan permufakatan jahat untuk dapat membebaskan dan membantu pelarian dari Djoko Tjandra.

Menurut Kurnia, penanganan kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari di Kejaksaan Agung pun menuai ragam kritik dari masyarakat.

"Diduga keras ada upaya perlindungan dari Kejaksaan Agung terhadap Pinangki," kata Kurnia.

Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (30/9/2020). Sidang itu beragenda mendengarkan eksepsi atau nota pembelaan terdakwa atas dakwaan jaksa penuntut umum. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (30/9/2020). Sidang itu beragenda mendengarkan eksepsi atau nota pembelaan terdakwa atas dakwaan jaksa penuntut umum. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Hal itu bermula saat Kejaksaan Agung mengeluarkan Pedoman Pemeriksaan Jaksa, dilanjutkan pemberian bantuan hukum, mengabaikan pengawasan Komisi Kejaksaan, sampai pada tidak adanya koordinasi dengan KPK sebelum pelimpahan perkara ke pengadilan.

Dengan berlandaskan itu, menurut Kurnia, semestinya Presiden Jokowi tidak lagi ragu untuk memberhentikan Jaksa Agung.

"Akan tetapi Presiden seakan bergeming melihat kejanggalan-kejanggalan tersebut. Kinerja penindakan kasus korupsi oleh insititusi penegak hukum pada periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo pun sangat buruk," kata Kurnia.

Kurnia membeberkan, alokasi anggaran yang diberikan ke institusi penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, KPK) sebesar Rp381,6 miliar.

Namun, besarnya anggaran untuk penyidikan tidak menjadikan institusi penegak hukum bertindak secara optimal.

"Sepanjang semester I 2020 institusi penegak hukum hanya mampu menangani 169 kasus dari target kasus sebanyak total 2.225 kasus," ujar Kurnia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas