Ini Alasan Jaksa Agung Ajukan Banding ke PTUN Terkait Kasus Semanggi I-II
Ferry menjelaskan bahwa hakim dituding telah membuat banyak keputusan yang keliru dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung RI telah memutuskan akan mengajukan banding terkait Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang memutuskan Jaksa Agung RI ST Burhannudin dinyatakan bersalah terkait pernyataan 'Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat'.
"Kami 14 hari harus mengajukan keberatan ini. Kita sudah finalisasi dan tinggal merapikan saja dan atas memori banding itu dalam jangka waktu yang telah ditetapkan itu akan dikirimkan ke pengadilan tinggi tata usaha negara," kata Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara (JAM Datun), Ferry Wibisono di Kejagung RI, Jakarta, Kamis (5/11/2020).
Ferry menjelaskan bahwa hakim dituding telah membuat banyak keputusan yang keliru dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
Satu di antaranya perihal tak ada peraturan yang dilanggar oleh Jaksa Agung soal pernyataan itu.
"Peraturan mana yang dilanggar dalam substansi tersebut. Tetapi hakim tidak menunjukkan pasal mana yang dilanggar dalam putusan itu karena memang tidak ada peraturan yang dilanggar. Jadi hakim memformulasikan berdasarkan keyakinan saja tanpa alat bukti yang memadai dan kemudian lalai dalam menjalankan kewajibannya dan membuat pertimbangan yang tidak benar terkait perbuatan hukum mana yang dilanggar Jaksa Agung," jelasnya.
Baca juga: Jaksa Agung Diminta Tidak Ajukan Banding Atas Putusan PTUN Soal Penyataan Tragedi Semanggi
Tak hanya itu, Ferry juga menyinggung pihak penggugat dinilai tidak memenuhi syarat kepentingan dalam mengajukan gugatan ke PTUN.
Menurutnya, orang tua korban 1998 sebagai penggugat tidak memiliki kepentingan menjawab pernyataan Jaksa Agung di Rapat Kerja DPR RI.
"Kepentingan penggugat (orang tua korban) adalah pada penanganan perkara HAM berat. Bukan pada proses jawab menjawab pada rapat kerja DPR RI," jelasnya.
Lebih lanjut, Ferry mengungkapkan majelis hakim dinilai tak mempertimbangkan rekaman video yang utuh terkait pernyataan Jaksa Agung RI di dalam rapat kerja DPR RI.
Sebab, ada kalimat yang disebut tidak pernah disebutkan oleh Jaksa Agung dalam putusan itu.
Kalimat yang tak ada di rekaman adalah: 'Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,'
"Jaksa Agung tidak pernah menyatakan adanya kalimat ini. Seharusnya Komnas HAM ini menjadi objek sengketa karenanya bapak ibu bisa melihat dalam keputusannya ada kalimat ini. Padahal di rekamannya tidak ada kalimat ini pada saat tanya jawab tersebut," ungkapnya.
Namun demikian, kata dia, pihaknya mengakui Jaksa Agung RI memang menyebutkan kasus Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.
Akan tetapi, hal itu mengacu pada laporan panitia khusus DPR RI yang dikeluarkan pada tahun 2001 silam.
"Melihat banyaknya kesalahan yang dilakukan PTUN Jakarta dalam memeriksa dan mengadili perkara ini, banyaknya kewajiban pemeriksaan alat bukti yang tidak dilakukan pengadilan PTUN. Kami mempersiapkan diri bahwa keputusan ini tidak benar dan kami akan melakukan banding atas keputusan yang tidak benar," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan Jaksa Agung RI ST Burhannudin dinyatakan bersalah dalam sidang gugatan pernyataan 'Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat'.
Jaksa Agung RI dinyatakan bersalah di dalam putusan nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT yang diketok pada Rabu (4/11/2020). Putusan itu ditandatangani oleh Hakim Ketua Andi Muh Ali Rahman dan Umar Dani sebagai Hakim Anggota.
Dalam amar putusannya, majelis hakim juga mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya.
"Mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya," sebagaimana dikutip dalam putusan perkara yang diunggah secara online (sistem e-court) pada Rabu (4/11/2020)
Dalam putusan itu, tindakan Jaksa Agung RI yang menyebutkan Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat merupakan tindakan melawan hukum. Pernyataan tersebut disampaikan Burhanuddin saat rapat kerja antara Komisi III DPR RI pada 16 Januari 2016 lalu.
"Menyatakan Tindakan Pemerintah yang dilakukan TERGUGAT berupa Penyampaian dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020, yang menyampaikan: "Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM" adalah Perbuatan Melawan Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan," jelas putusan tersebut.
Lebih lanjut, Jaksa Agung RI juga diwajibkan untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi II dan Semanggi II sesuai dengan keadaan sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya.
"Selain itu menghukum untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 285.000," tutup putusan tersebut.
Sebagai informasi, Jaksa Agung RI ST Burhanuddin digugat ke PTUN Jakarta karena pernyataannya yang menyatakan Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat dalam rapat kerja Komisi III DPR RI pada 16 Januari 2016 lalu.
Gugatan tersebut didaftarkan pada 12 Mei 2020 lalu. Salah satu penggugatnya adalah Maria Catarina Sumarsih yang merupakan ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan).
Wawan dikenal sebagai mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I 1998.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.