Penyelesaian Perkara Perbankan di Masa Pandemi Covid-19 Dinilai Perlu Terobosan
Untuk itu ia mengusulkan perusahaan-perusahaan semacam itu bisa direvitalisasi sehingga dapat memberikan keuntungan.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Kejaksaan RI Ibnu Majzah menilai perlu adanya upaya terobosan dalam penyelesaian perkara perbankan di masa pandemi covid-19.
Ibnu mengusulkan khususnya dalam kasus perusahaan-perusahaan perbankan yang terbelit perkara kredit macet atau tak mampu menunaikan kewajibannya karena pandemi covid-19 namun masih memiliki aset-aset yang potensial.
Menurutnya perkara tersebut tidak selalu harus berujung pada proses penegakan hukum yang sifatnya represif dengan eksekusi aset atau pemidanaan.
Baca juga: Enam Bank Perkreditan Rakyat Dilikuidasi, LPS: Tidak Membahayakan Sistem Perbankan
Satu di antara alasannya, kata Ibnu, karena perusahaan-perusahaan tersebut memiliki potensi untuk memberikan keuntungan.
Untuk itu ia mengusulkan perusahaan-perusahaan semacam itu bisa direvitalisasi sehingga dapat memberikan keuntungan.
Hal tersebut disampaikan Ibnu dalam Webinar Hukum bertajuk Urgensi Penegakan Hukum Kasus Perbankan VS Menjaga Stabilitas Perekonomian Nasional pada Jumat (6/11/2020).
Baca juga: Pengamat: Masih Banyak Masyarakat yang Belum Memiliki Akses Terhadap Perbankan
"Jadi upaya revitalisasi ini menimbulkan peluang usaha bila memang itu masih berpotensi. Saya rasa banyak pengalaman yang ada, ketika perusahaan yang sudah mati itu direvitalisasi, kemudian ketika sudah bagus lagi, perusahaan itu dijual. Ini saya rasa perlu dilakukan terobosan-terobosan seperti itu. Ini nanti bisa difokuskan ke arah sana," kata Ibnu.
Menurut Ibnu, proses pemidanaan tanpa adanya proses revitalisasi terhadap perusahaan-perusahaan tersebut hanya akan menimbulkan kerugian baik kepada perusahaan maupun terhadap tenaga kerjanya.
"Kalau misalkan perusahaan-perusahaan yang colapse ketika terjadi masalah pandemi ini, kemudian dia tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya, itu tidak serta merta dilakukan ekesekusi. Karena kalau sudah dilakukan eksekusi, nanti mati semuanya itu, rugi semua. Perusahaannya rugi, kemudian juga masyarakat dalam hal ini tenaga kerjanya rugi," kata Ibnu.
Terkait dengan usul tersebut, Ibnu mencontohkan pemerintah bisa mengadopsi sistem Government Bussiness Resolution (GBR) di negara-negara persemakmuran.
Menurut Ibnu, berkaca dari sistem tersebut maka Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) bisa menjadi leading sector pelaksana kebijakan.
Pemerintah, kata Ibnu, juga bisa melibatkan institusi lain yang berkaitan dengan bisnis antara lain Kementerian Keuangan, para ahli hukum, ahli keuangan, bahkan masyarakat sebagai bagian dari asas demokrasi.
Ibnu mengatakan lembaga-lembaga tersebut nantinya bisa melakukan penilaian contohnya melakukan penilaian terhadap perusahaan yang sudah mati karena kreditnya macet atau tidak mampu menunaikan kewajibannya namun asetnya masih ada.
Selain itu, kata Ibnu, lembaga-lembaga tersebut juga bisa memantau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi akibat terjadinya kesalahan-kesalahan dalam masalah perbankan.
"Jamdatun bisa melakukan kreasi-kreasi tersebut sehingga kredit macet tidak harus dilakukan dengan eksekusi ataupun pemidanaan," kata Ibnu.