KontraS Berharap Majelis Hakim Jatuhkan Vonis Maksimal Terhadap 11 Oknum TNI Penganiaya Jusni
KontraS berharap Majelis Hakim Pengadilan Militer yang menyidangkan perkara penganiayaan 11 oknum TNI terhadap Jusni bisa memberikan putusan maksimal
Penulis: Gita Irawan
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berharap Majelis Hakim Pengadilan Militer II/08 Jakarta yang menyidangkan perkara penganiayaan 11 oknum TNI terhadap warga di Jakarta Utara bernama Jusni dapat memberikan putusan maksimal kepada para terdakwa.
Staf Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andi Muhammad Rezaldy mengatakan hal itu mengingat TNI telah memiliki aturan pelarangan praktik-praktik Penyiksaan sebagaimana diatur dalam Perpang No 73 IX 2010 tentang Penentangan Penyiksaan.
Baca juga: Keroyok Jusni Hingga Tewas, 11 Oknum Anggota TNI Dituntut 1-2 Tahun Penjara
Selain itu, kata Andi putusan maksimal dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku agar kedepan peristiwa serupa tidak terjadi dan dapat dijadikan pembelajaran bagi prajurit-prajurit TNI lainnya.
"Terlepas dari ketidaksepakatan kami terhadap ke-11 orang terdakwa tersebut di adili dalam Proses Peradilan Militer mengingat bahwa tidak ada kerugian yang dialami oleh institusi TNI, dan tanpa bermaksud mengintervensi, kami berharap agar Majelis Hakim Pengadilan Militer II/08 Jakarta yang menyidangkan perkara tersebut dapat memberikan putusan maksimal kepada para terdakwa," kata Andi ketika dikonfirmasi Tribunnews.com pada Kamis (19/11/2020).
Baca juga: 11 Anggota TNI Pengeroyok Jusni Dituntut 1-2 Tahun Penjara, Anggota DPR: Melukai Rasa Keadilan
Tanpa bermaksud mengintervensi proses persidangan, kata Andi, KontraS berharap agar Majelis Hakim mempertimbangkan kondisi serta kedudukan pelaku sebagai alat negara yang dijadikan dasar pemberatan perbuatan, pidana terdakwa dan memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban.
"Pemerintah harus melakukan reformasi atas peradilan militer dengan segera melakukan revisi atas UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, mengingat sistem peradilan militer selalu memberikan vonis rendah terhadap para pelaku sehingga menjadi sarana impunitas atas kejahatan yang dilakukan oleh anggota TNI," kata Andi.
Andi menyayangkan rendahnya tuntutan Oditur Militer terhadap 11 orang anggota TNI dari kesatuan Yonbekang 4/Air atas dugaan praktik penyiksaan yang berujung kematian terhadap Almarhum Jusni (24).
"Rendahnya tuntutan ini membuktikan bahwa proses persidangan yang berjalan tidak objektif dan tidak adil," kata Andi.
Selain itu, kata Andi, KontraS juga berpendapat proses persidangan yang berlangsung di Pengadilan Militer II/08 Jakarta tidak mengungkapkan fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi.
KontraS menilai peristiwa yang diungkapkan hanya berfokus pada peristiwa penyiksaan yang terjadi di depan Masjid Jamiatul Islam.
Padahal, kata Andi, masih terdapat dua tempat terjadinya peristiwa penyiksaan yang harus diungkap dan didalami dalam proses persidangan yakni peristiwa di Jalan Enggano dan Mess Perwira Yonbekang 4/Air.
Kemudian, lanjut dia, barang bukti yang dihadirkan oleh oditur militer tidak sesuai dengan fakta peristiwa yakni setidaknya terdapat dua barang bukti tidak dihadirkan antara lain alat menyerupai tongkat dan hanger.
"Mengenai alat yang menyerupai tongkat, alat itu dipakai oleh salah satu terdakwa pada saat melakukan penyiksaan di depan Masjid Jamiatul Islam, peristiwa ini juga tertangkap oleh CCTV," kata Andi.
Sedangkan hanger atau gantungan baju diduga dipakai untuk menyiksa Jusni dengan cara dicambuk ke areal punggung korban saat di Mess Perwira Yonbekang 4/Air sebagaimana yang disampaikan oleh korban kepada rekannya.
Selain itu Andi menilai dalam proses persidangan diketahui oditur militer tidak berupaya mengurai dan mengungkap rantai pertanggungjawaban komando atas peristiwa penyiksaan tersebut mengingat salah satu lokasi yang diduga menjadi tempat penyiksaan itu berada di area militer yang hanya dapat diakses oleh anggota militer.
Selain itu, kata Andi, apabila pejabat publik khususnya dalam hal ini ialah atasan para terdakwa mengetahui peristiwa penyiksaan namun membiarkannya, maka ia dianggap menjadi bagian dari kejahatan itu dan harus mempertanggungjawabkannya secara pidana.
Hal itu, kata dia, didasarkan pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Marabat Manusia sebagaimana telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998
Andi mengatakan upaya-upaya perdamaian yang selalu ditawarkan kesatuan Yonbekang 4/Air melalui oditur militer ditolak pendamping keluarga korban yang meminta proses peradilan dapat berjelan terus serta menghukum para terdakwa dengan hukuman yang berat.
"Rekomendasi keringanan hukuman dari Kapusbekangad dan kemudian oditur militer mengabulkannya sebagai hal yang meringankan, hal ini menunjukan ada upaya intervensi terhadap proses peradilan dan menimbulkan konflik kepentingan. Selain itu, hal ini juga membuktikan bahwa ada upaya perlindungan kepada para terdakwa yang melakukan penyiksaan," kata Andi.